Beberapa hari lalu, publik dikejutkan oleh sebuah peristiwa tragis di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Seorang mahasiswa berusia 21 tahun bernama Arjuna Tamaraya ditemukan tewas setelah dianiaya oleh beberapa warga ketika beristirahat di dalam Masjid Agung Sibolga.
Arjuna, yang tengah dalam perjalanan dari Simeulue, Aceh memilih tidur sebentar di masjid sekitar pukul 03.30 WIB. Namun, ia ditegur oleh seorang laki-laki yang menyatakan bahwa tidur di area masjid tidak diperbolehkan. Akibat penolakan dan keberatan itu, lima orang kemudian diduga mengeroyok korban hingga tewas.
Tragedi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah kita memahami masjid hanya sebagai ruang ritual atau juga sebagai ruang sosial dan kemanusiaan? Karena ketika masjid yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan keamanan justru menjadi arena kekerasan, maka makna masjid dalam Islam layak dikaji ulang.
Fungsi Ritual Masjid: Rumah Ibadah yang Agung
Secara tradisional, masjid dalam Islam memiliki posisi istimewa sebagai tempat utama untuk melakukan ibadah lima waktu, shalat jamaah, tahajjud, dan aktivitas spiritual lainnya. Kita membaca dalam Al-Qur’an:
“Dan telah Kami jadikan masjid-masjid itu hanya supaya kamu menyebut nama Allah di dalamnya…” (QS. Al-Jinn 72: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa salah satu fungsi utama masjid adalah sebagai tempat menyebut (dzikir) nama Allah—ruang suci yang memfokuskan pada Tuhan.
Selain itu, hadits Nabi menekankan keutamaan shalat berjamaah di masjid: “Barang siapa yang mendatangi masjid pagi dan petang, maka di setiap langkahnya dituliskan satu kebaikan, dan dihapus satu kesalahan.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, masjid bukan hanya sebuah bangunan, melainkan ruang spiritual di mana manusia bertemu dengan Tuhannya dan dengan sesama secara ibadah.
Fungsi Sosial Masjid: Belajar dari Ahlu Suffah Masjid Nabawi
Namun lebih dari itu, masjid sejak awal Islam juga berfungsi sebagai pusat sosial, perlindungan, pendidikan, dan penghidupan masyarakat. Sebuah contoh sejarah yang sangat penting adalah keberadaan Ahl al‑Suffah di Masjid Nabawi.
Para sahabat yang hijrah dari Makkah dan tidak memiliki tempat tinggal di Madinah diberi area bernama “ash-Suffah”, yakni serambi masjid yang beratap, tempat mereka tinggal, belajar, tidur, dan beribadah di masjid Rasulullah.
Fungsi ini menunjukkan bahwa masjid bukan hanya untuk shalat, tetapi juga menjadi tempat berteduh bagi yang memerlukan, lembaga pendidikan bagi yang haus ilmu, serta titik pelayanan bagi yang tertinggal secara ekonomi. Lembaga-kajian modern menyebut bahwa fungsi sosial masjid meliputi ‘human welfare’—masjid sebagai pusat distribusi zakat, sedekah, penerimaan tamu, inklusi sosial. –
Kaitan dengan Kasus Sibolga: Pelanggaran Fungsi Masjid
Dalam tragedi Sibolga, kita melihat sebuah ironi besar: seseorang yang berhenti untuk beristirahat di masjid — yang secara historis dan syar’i diperuntukkan bagi orang dalam perjalanan atau tak berpenghasilan — justru dilarang, ditolak, dan menjadi korban kekerasan. Hal ini bertentangan dengan etika masjid dalam tradisi Islam.
Menurut keterangan Takmir Masjid setempat, 5 orang penganiaya memang bukan dari pengurus masjid. Tindakan penganiayaan tersebut dikategorikan sebagai “tindakan kriminal murni” yang tidak ada kaitannya dengan masjid.
Masjid memang harus menjadi tempat nyaman bagi pencari keteduhan atau sekadar istirahat di sebuah masjid yang merupakan hak publik, bukan properti perorangan.
Artinya, kita harus bertanya: apakah kita memahami masjid sebagai rumah bersama umat, atau telah menjadikannya area eksklusif yang membatasi hak-hak sosial?
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah