maulid nabi

Maulid Nabi: Dari Perdebatan Bid’ah Menuju Diplomasi Budaya Islam Rahmatan lil-‘Alamin

Saat ini kita memasuki bulan Maulid, sebuah momen bersejarah bagi umat Islam. Perayaan ini tidak hanya dimaknai sebagai peringatan tanggal kelahiran Nabi Muhammad  semata, tetapi juga momentum kegembiraan umat dalam menyambut hadirnya sosok pembawa risalah rahmat bagi semesta.

Maulid bukan peringatan hari ulang tahun kelahiran Nabi. Karenanya perayaan Maulid tidak hanya diperingati pada tepat tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi perayaan satu bulan sebagai bulan bersejarah. Di kampung-kampung, perayaan Maulid dirayakan di tanggal berbeda-beda selama bulan Maulid.

Di banyak negara muslim, Maulid telah menjadi tradisi keagamaan yang hidup dalam bentuk majelis dzikir, shalawat, syair, hingga pawai budaya. Namun, di tengah kemeriahannya, masih saja muncul perdebatan klasik: apakah Maulid itu bid‘ah yang sesat atau justru tradisi yang mendekatkan umat pada kecintaan terhadap Nabi?

Perdebatan hukum ini sering kali tidak produktif, sebab ia menyeret umat Islam dalam kubangan konflik akidah dan bahkan perpecahan sosial. Padahal, jika dilihat secara mendalam, Maulid merupakan persoalan ijtihadiyah yang seharusnya ditempatkan dalam kerangka penghormatan terhadap perbedaan ijtihad di antara para ulama.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 1505 M), seorang ulama besar Syafi‘iyah, dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Mawlid menegaskan bahwa Maulid yang diisi dengan bacaan Al-Qur’an, dzikir, dan sedekah adalah amalan kebaikan yang dianjurkan. Bahkan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 1449 M) menilai Maulid sebagai bid‘ah hasanah yang sarat dengan nilai kebaikan selama tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan.

Maulid sebagai Tradisi Budaya Umat

Jika menengok sejarah, peringatan Maulid sudah berlangsung sejak abad ke-12 di masa Dinasti Ayyubiyah dan kemudian berkembang pesat pada masa Dinasti Mamluk dan Utsmani. Ada pula yang menarik lebih jauh peringatan ini sebagai warisan dinasti Fatimiyah di Mesir pada abad 10.

Di Nusantara sendiri, Maulid diterima sebagai ekspresi budaya Islam yang membaur dengan tradisi lokal. Misalnya, perayaan Sekaten di Jawa atau Maulid Nabi di Aceh dan Makassar, yang sarat dengan nuansa seni, kidung, serta tradisi kuliner. Dalam perspektif kebudayaan, Maulid merupakan ekspresi keagamaan dalam bentuk cultural performance—perayaan iman yang hadir dalam wajah budaya.

Dinyatakan perayaan iman karena Maulid tidak bisa dilepaskan dari ekspresi keimanan terhadap sang pembawa risalah terakhir. Maulid adalah ekspresi kecintaan sebagaimana terdapat dalam berbagai dalil anjuran mencintai Nabi. Tetapi, ekspresi reliji tersebut dipentaskan dalam panggung budaya yang beragam di masing-masing konteks lokal.

Maulid telah menjadi soft power umat Islam, sebuah kekuatan budaya yang menyatukan masyarakat lintas suku, bahasa, bahkan mazhab. Dinasti Fatimiyyah konon menjadikan Maulid sebagai pemersatu pemimpin dan rakyatnya. Al-Ayyubi menjadikannya sebagai energi persatuan ketika moral umat Islam telah melemah selama perang salib. Artinya, Maulid memiliki dampak sosial-kultural yang merekatkan persatuan umat.

Namun, problem muncul ketika Maulid semata dipandang dari perspektif hukum bid‘ah. Alih-alih memperkuat ukhuwah, ia justru berpotensi menimbulkan fragmentasi sosial. Padahal, Al-Qur’an menegaskan: “Berpeganglah kamu semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran: 103).

Menjadikan Maulid sebagai Diplomasi Peradaban

Dunia global saat ini menghadapi tantangan serius berupa islamofobia, terutama di Barat. Nabi Muhammad kerap disalahpahami sebagai figur intoleran dan kekerasan, sebuah gambaran yang diwariskan oleh sebagian orientalis sejak abad pertengahan. Dalam konteks ini, Maulid bisa menjadi ruang diplomasi budaya untuk memperkenalkan sosok Nabi yang sejati: penuh kasih sayang, peduli kemanusiaan, dan menjunjung tinggi keragaman.

Sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107). Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Nabi adalah untuk menebar rahmat, bukan ancaman. Karenanya, perayaan Maulid yang diisi dengan syair, shalawat, dan kisah-kisah teladan Nabi, sejatinya adalah sarana cultural diplomacy untuk menghapus stigma negatif dan mempromosikan Islam rahmatan lil-‘alamin.

Dalam diplomasi, kekuatan budaya memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan kekuatan militer atau politik. Maulid adalah salah satu instrumen soft power Islam. Ia bukan hanya tentang kidung cinta kepada Nabi, tetapi juga ekspresi cinta kepada kemanusiaan lintas agama dan budaya.

Karena itulah, menghadirkan Maulid sebagai ruang kasih sayang, tentu lebih sesuai dengan semangat syariat Islam dibanding menjadikannya sumber perpecahan. Imam Nawawi pernah mengingatkan bahwa perbedaan dalam masalah cabang agama tidak semestinya memutuskan ukhuwah. Apalagi dalam konteks ijtihadiyah seperti Maulid.

Dengan demikian, umat Islam harus bergerak melampaui perdebatan hukum yang kering, menuju pada pemaknaan Maulid sebagai energi peradaban. Ia bisa menjadi sarana membangun dialog antarbudaya, memperkuat ukhuwah Islamiyah, dan memperkenalkan Islam yang ramah di mata dunia.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir copy

Muhammadiyah Serukan Kebersamaan Nasional Hadapi Bencana

Purwokerto — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menegaskan pentingnya kebersamaan seluruh elemen …

ketum mui kh anwar iskandar dalam orientasi pengurus mui 251229054426 764

Ketum MUI Ajak Masyarakat Semarakkan Tahun Baru dengan Doa Bukan Hura-Huran Dan Bermaksiat

JAKARTA — Pergantian tahun baru dari 2025 menuju 2026 tinggal menghitung hari, ditengah berbagai musibah …