Salah satu modus propaganda kelompok ekstremis untuk menarik simpati adalah dengan mengemas aksi-aksi mereka dengan frase keagamaan misalnya bom bunuh diri yang mereka narasikan dengan istilah amaliyah istisyhad.
Mereka menegaskan bahwa bom bunuh diri sebagai amaliyah isytisyhad adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan sunnah Nabi Muhammad. Argument-argument seperti ini mulai muncul kembali di media sosial yang dinarasikan oleh mereka yang mendukung aksi bunuh diri melawan musuh-musuh mereka.
Secara redaksional dan praktik, bom bunuh diri memang tidak ditemukan dalam sejarah peradaban Islam klasik. Tetapi memang ditemukan beberapa hadis sahih yang menyiratkan kebolehan “mengorbankan diri” ini salah satunya adalah hadis yang termaktub dalam Sahih Muslim yang artinya sebagai berikut;
Artinya : “Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah pada saat Perang Uhud hanya didampingi oleh tujuh orang dari kaum Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh berhasil mendekat dan menyerang beliau, beliau bersabda, “Siapa yang dapat menahan serangan mereka, maka baginya surga,” atau beliau bersabda, “Dia akan menjadi temanku di surga.”
Maka majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu ia berperang hingga gugur. Kemudian musuh mendekat lagi, dan beliau kembali bersabda, “Siapa yang dapat menahan serangan mereka, maka baginya surga,” atau “Dia akan menjadi temanku di surga.”
Maka majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu ia berperang hingga gugur. Demikianlah seterusnya hingga ketujuh orang Anshar itu gugur.”
Jika kita bedah, hadis tersebut tercatat di bab Peperangan Uhud . Namun setelah ditakhrij, hadis tersebut memang otentik secara sanad dan matan.
Para pendukung bom bunuh diri membangun argumen mereka di atas sebuah analogi bahwa jika sahabat Anshar boleh secara sadar maju menjemput kematian demi membela Nabi, maka seorang Muslim hari ini juga boleh meledakkan diri di tengah musuh demi membela ‘panji’ Rasulullah. Sekilas, analogi ini tampak masuk akal. Namun, jika ditelisik dengan kaidah hukum Islam, analogi ini runtuh karena adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dan prinsipil.
Pertama, Sahabat di Uhud melakukan aksi pertempuran dengan melawan, menggunakan pedang dan tameng, dan akhirnya terbunuh oleh tangan musuh. Sebaliknya, pelaku bom bunuh diri melakukan aksi bunuh diri dengan membunuh dirinya sendiri dengan alat yang ia kendalikan sendiri.
Kematian bukan lagi konsekuensi dari pertempuran, melainkan keputusan personal yang hampir pasti lahir dari keputusasaan.
Ini adalah perbedaan yang sangat clear dan harus dipahami, mengingat Islam secara tegas melarang bunuh diri dalam QS. Surat An-Nisa ayat 29–30.
Kedua, peristiwa Uhud terjadi dalam medan perang yang sah dan jelas antara dua pasukan. Targetnya adalah pasukan kafir yang aktif menyerang. Sementara itu, aksi terorisme modern seringkali menargetkan warga sipil tak berdosa di ruang publik yang damai.
Fikih jihad secara ketat melarang pembunuhan model seperti ini. Memang, sempat muncul pandangan kontroversial dari Syekh Yusuf Al-Qardhawi yang dalam konteks spesifik konflik Palestina-Israel membolehkan “operasi istisyhad” atau bom bunuh diri sebagai senjata perlawanan pihak yang lemah. Namun, fatwa ini segera menuai kecaman keras dari mayoritas ulama Ahlussunnah lainnya seperti Syekh Al-Albani, Syekh Ibn Uthaymeen, dan Mufti Agung Arab Saudi saat itu. Mereka menegaskan bahwa dalil-dalil pengharaman bunuh diri bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar dalam situasi apa pun. Lagipula, ketika seseorang melakukan bunuh diri kemudian ledakannya membunuh seorang yang tak berdosa, bagaimana ia mempertanggungjawabkan bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnnya.
Ketiga, aksi para sahabat dilandasi oleh izin dan komando langsung dari otoritas syar’i tertinggi, yaitu Rasulullah. Sementara aksi bom bunuh diri modern diperintahkan oleh pemimpin kelompok radikal yang tidak memiliki legitimasi jelas.
Tantangan terbesar kita hari ini bukan hanya mengkaji dalil-dalil yang sahih, melainkan merebut maknanya kembali dari tangan-tangan mereka yang menafsirkannya secara serampangan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah