bruno metsu resmi ditunjuk sebagai pelatih al wasl ia  120718152654 915
bruno metsu resmi ditunjuk sebagai pelatih al wasl ia 120718152654 915

Menemukan Cahaya Islam di Benua Afrika Bruno Felix Metsu, Masuk Islam Menjadi Abdul Karim

DOHA – Gelaran Piala Dunia 2002 membuat catatan gemilang bagi negara Senegal. Bagaimana tidak, datang dengan status tidak diperhitungkan kemudian melambung hingga maju ke perempar final, sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi pemain dan rakyat Senegal.

Satu nama yang cukup identik dengan keberhasilan Senegal, dialah sang pelatih Bruno Metsu yang berhasil membawa negara yang dipandang sebelah mata kemudian tiba-tiba menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah persepakbolaan dunia.

Bruno Metsu, tidak serta merta sukses meraih simpati dari official, pemain dan rakyat Senegal. Cara pandang hiduplah dan pendekatan kekeluargaan yang membuatnya mampu membawa pemain Senegal mengeluarkan kemampuan terbaiknya diatas lapangan.

Bruno Metsu, bukan sekedar menjadi pelatih di Senegal, tetapi telah benar-benar menjadi seorang Senegal. Di benua Afrika inilah, Bruno Metsu menemukan keindahan dan Cahaya Islam masuk ke relung hatinya dan di Benua inilah Bruno memeluk Islam dengan suka cita.

Bruno Lucas Felix Metsu, demikian nama lengkap pemberian orang tuanya. Namun publik sepak bola dunia lebih mengenalnya dengan Bruno Metsu. Seperti dikutip dari laman ihram.co.id Senin. (11/10).

Namanya makin mencuat setelah ia berhasil membawa tim asuhannya, Senegal, masuk perempatfinal Piala Dunia 2002 silam. Keberhasilan membawa tim nasional sepak bola Senegal hingga ke perempatfinal Piala Dunia 2002 bisa dibilang sebagai prestasi terbesar Metsu sepanjang karirnya di dunia sepak bola.

Lebih dari 30 tahun berkarier, Metsu bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia pernah bermain di klub papan bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille dan Anderlecht. Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence. Sebelum menangani Senegal, ia sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.

Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal, menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan.

Semua orang menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ”Mestinya, sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah, toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,” katanya.

Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan dengan pendekatan hirarkis dan militeristik, melainkan dengan pola keterbukaan dan saling menyayangi.

Kepada para pemain, berkali-kali ia menegaskan, ”Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas mengekspresikan apa saja.”

Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional.

Dalam menumbuhkan motivasi, disiplin dan tanggungjawab, dia tidak pernah melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apapun persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.

Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28 Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ”Ada suatu misteri, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudha hilang di Eropa,” katanya.

Di Afrika, menurutnya, pintu selalu terbuka. Di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya masalah. Sementara di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat menyetuh Metsu. ”Aku ini kulit putih berhati negro,” tukasnya bangga.

Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002 silam. Asal tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.

Abdul Karim sendiri memang tak pernah mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Baginya, agama adalah masalah privasi. Dia tak ingin mengumbar privasinya di depan publik.

Kini, ia hidup tentram bersama istrinya, seorang perempuan Senegal bernama Rokhaya Daba Ndiaye. Mereka menikah dengan uang tunai 6 ribu euro sebagai mas kawin.

Rokhaya, bersama isteri para pemain Senegal, selalu setia memberi semangat pada tim nasional setiap kali mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang.

Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel yang sama dimana mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

sidang gugatan Pilpres di MK

Tanggapi Putusan MK, PBNU: Kedepankan Empat Nilai Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa Pilpres pasangan nomor urut 01 Anies Baswedan-Cak …

Ketua FKPT Jabar Iip Hidajat

Kearifan Lokal Dorong Moderasi Beragama Dengan Kedepankan Toleransi

Jakarta – Meskipun lebaran Idulfitri telah usai, semangat persaudaraan dan kerukunan yang didapat setelah merayakannya …