nabi adam

Menguak Dimensi Ekonomi dalam Kehidupan Para Nabi (1): Nabi Adam dan Prinsip Kerja Keras

Kita tentu sepakat bahwa para Nabi dan Rasul adalah sebaik-baik makhluk Allah yang dipilih untuk menyampaikan risalah kepada manusia yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Salah satu bentuk upaya dari makhluk terbaik di sisi Allah tersebut antara lain dengan memberikan keteladanan melalui berbagai aktivitas ekonomi.

Untuk itu, menguak dimensi ekonomi dalam kehidupan para Nabi menjadi bukan sekedar menarik, namun menjadi sesuatu yang sulit untuk ditawar lagi. Terlebih di tengah kondisi saat ini terutama di saat manusia menghadapi berbagai persoalan ekonomi akibat kecenderungan materialistis, moral dan etik. Maka, sekali lagi, menguak dimensi ekonomi dapat menjadi penting guna memberikan sentuhan moral dan etika dalam dunia ekonomi sesuai dengan tuntunan di bawa oleh para nabi dan rasul.

Pada serial pertama, yang akan dibahas adalah dimensi ekonomi dalam kehidupan Nabi Adam. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah ayat 36, bahwa setelah Nabi Adam dan istrinya diturunkan di muka bumi, mereka memasuki kehidupan baru yang tentunya jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya (di surga).

Dari kehidupan baru inilah, Nabi Adam dan istrinya mulai melakukan aktivitas-aktivitas kehidupan di dunia seperti memenuhi kebutuhan pokok kehidupannya, berinteraksi dan seterusnya.

Setidaknya ada dua tuntunan yang dapat dipetik dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh Nabi Adam AS sebagai berikut:

Pertama, memenuhi kebutuhan primer dan memprioritaskan produksi.

Dalam aktivitas ekonomi, hal pertama yang dibahas adalah memenuhi kebutuhan primer. Dalam al-Qur’an, yang disebut sebagai kebutuhan primer adalah makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal (QS. an-Nahl: 89 dan Thaha: 117-119).

Dalam ayat di atas terdapat kata-kata “kelaparan“, “telanjang“, “dahaga“, dan “panas matahari“. Terkait hal tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat memelihara sisi batiniah dan lahiriah manusia, makanan dan minuman serta pakaian harus diprioritaskan.

Inilah dimensi ekonomi dalam kehidupa Nabi Adam yang pertama. Memang terkesan sangat mendasar karena memang Nabi Adam adalah yang yang pertama kali menghuni bumi ini sehingga, aktivitas ekonominya pun masih pada aspek-aspek yang primer. Namun demikian, pelajaran yang dapat diambil dari tuntunan aktivitas ekonomi Nabi Adam adalah memprioritaskan kebutuhan primer dari pada kebutuhan sekender, apalagi tersier.

Kedua, prinsip bekerja keras.

Jika kita membaca ayat-ayat al-Qur’an yang membahas kisah Nabi Adam, maka akan kita dapati sebuah informasi di mana dalam satu episode kisah Nabi Adam dijelaskan bahwa suasana dunia tempat Nabi Adam diturunkan penuh dengan tantangan dan permusuhan (QS. al-Baqarah: 36).

Memang demikian, bahwa kehidupan Nabi Adam, bahkan juga kehidupan manusia setelahnya penuh dengan tantangan dan rintangan sehingga menuntut untuk dihadapi dan dijalani dengan prinsip kerja keras, ikhlas dan cerdas. Bahkan dalam QS. al-Balad ayat 4, Allah berfirman: “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah“.

Tentu, maksud “susah payah” dalam ayat di atas bukanlah untuk menyusahkan atau menyiksa manusia, melainkan Allah memberikan segala anugerah dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia yang mau berusaha dengan keras.

Bahkan sekelas kekasih Allah, yakni Nabi Adam, sebagaimana dinukil dari pakar tafsir Ibn Jarir at-Thabari, disebutkan bahwa makanan pertama kali yang dimakan Nabi Adam adalah tujuh butir gandum yang diperintahkan oleh Malaikat untuk ditanam.

Dari tujuh butir gandung yang ditanam itu, lalu menghasilkan sebuah gandung yang memerlukan proses lebih lanjut; yakni ditumbuk, dijadikan adonan kemudian baru menjadi roti yang bisa dimakan. Padahal, sangat mudah bagi Allah memberikan makanan siap dimakan oleh Nabi Adam secara langsung.

Namun, justru Allah memberikan bijih gandum dan itu pun harus menunggu ditanam dan dipanen baru bisa diolah menjadi sebuah makanan yang siap dimakan. Hal ini terdapat banyak hikmah, salah satunya adalah jika manusia hendak makan, maka harus menanam terlebih dahulu. Di sini lah prinsip kerja keras, kerja ikhlas dan kerja cerdas berlaku.

Bagikan Artikel ini:

About Muhammad Najib, S.Th.I., M.Ag

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta, mahasiswa Program Magister Universitas PTIQ dan Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Check Also

rasulullah

Inilah Jawaban Rasulullah Ketika Ditanya Sahabat tentang Muslim yang Paling Bijak

Dalam sebuah hadis, Ibnu Umar ra. berkata bahwa pada suatu ketika, Rasulullah memegang sebagian tubuhnya …

ramadan

Tips Ramadan yang Berkualitas (2): Saatnya Investasi Akhirat!

Ramadan adalah bulan yang sangat spesial. Karena pada bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, sementara pintu …