Satu hal lagi yang tak kalah tenarnya menjelang perayaan Natal, yakni memperdebatkan persoalan sikap salah satu ormas yang terlibat dalam pengamanan gereja. Bahkan persoalan ini nyatanya menjadi bahasan tahunan yang tak pernah usai.
Lebih-lebih kaum radikal-teroris, isu tersebut digoreng dan diviralkan sedemikian rupa untuk kemudian mereka ‘bumbui’ dengan narasi takfiri, hujatan dan sejenisnya bagi orang atau ormas yang terlibat turut menjaga gereja saat Hari Natal.
Memang harus diakui dan disadari bahwa menjaga gereja, dikalangan para ulama, termasuk persoalan yang debatable. Artinya, memang ada yang mengharamkan secara mutlak seorang muslim untuk turut menjaga gereja.
Namun demikian, tidak sedikit pula ulama yang membolehkan umat Islam turut menjaga gereja dengan alasan dan pendapat yang tidak hanya masuk akal (rasional) tetapi juga didasarkan dalil agama.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa menjaga gereja bagi umat Islam tidak diperbolehkan, mereka beragumen bahwa hal tersebut merupakan wujud i’anah alal ma’siyat (membantu terjadinya suatu kemaksiyatan atau kemusyrikan). Mereka juga menjelaskan bahwa ibadah di gereja itu sama halnya menjalankan kemusyrikan sehingga umat Islam tidak boleh turut ‘mensukseskannya’.
Adapun kelompok yang melarang umat Islam untuk turut menjaga gereja berpegang, salah satunya pada ayat al-Qur’an QS. al-Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Bukan untuk Mensukseskan Kemusyrikan
Adalah benar dan tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Islam melarang umatnya untuk tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, apalagi itu terjadi pada ranah aqidah. Namun, ayat tersebut kiranya tidak elok jika dipahami melalui satu sudut pandang saja.
Menjaga gereja tidak elok jika selalu dikaitkan dengan sama halnya turut mensukseskan kemaksiatan atau kemusyrikan. Sebab, tanpa dijaga sekalipun, sesungguhnya peribadatan di gereja akan tetap berjalan.
Nah di sinilah kita harus membuka pikiran kita secara luas dan terbuka tanpa diiringi oleh pandangan fanatisme. Bahwa tanpa penjagaan dari umat Islam sekalipun, perayaan Natal bagi umat Kristiani di gereja akan tetap berjalan sehingga hal ini bukan merupakan pemicu dan turut mensukseskan terjadinya kemaksiatan.
Terkait hal ini, Ali Zainal Abidin (2018) dalam sebuah artikelnya mengutip penjelasan dari kitab Buhuts wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah karya Muhammad Taqi bin Muhammad Syafi’ al-Ustmani.
Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud larangan membantu terjadinya kemaksiatan atau ajaran yang bertentangan dengan Islam adalah berupa perbuatan yang membuat maksiat terjadi dengan perantara perbuatan orang yang membantu. Dan hal tersebut tidak dapat terwujud kecuali dengan adanya niatan untuk membantu terjadinya maksiat serta tidak ada indikasi tujuan lain selain ke arah maksiat.
Dari penjelasan ulama di atas kiranya sangat jelas bahwa yang dimaksud larangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran dalam QS. al-Maidah adalah suatu perbuatan yang memang berperan sentral dalam terjadinya suatu kemaksiatan atau kemusyrikan. Dan hal itu dilakukan hanya semata dengan tujuan mensukseskan kemaksiatan, tidak ada tujuan lain selain itu.
Sekarang menjadi terang-benderang bahwa menjaga gereja yang dilakukan oleh sebagian umat Islam atau ormas Islam tujuannya jelas, yakni menjaga kerukunan antar umat beragama dan menjaga stabilitas negara sehingga tercipta toleransi serta keharmonisan sosial.
Penulis yakin bahwa orang Islam yang turut menjaga gereja bukan untuk ‘mensukseskan’ sebuah kemusyrikan atau kemaksiatan, tetapi sebagai salah satu wujud untuk menciptakan keharmonian sosial. Lebih-lebih dalam konteks Indonesia, yang plural, multikultural dan masyarakatnya memeluk agama berbeda-beda. Maka, konteks menjaga gereja di sini adalah untuk mencegah kerusakan dan menciptakan rasa aman antar manusia.
Demi Menghindari Mafsadah
Bagaimana pun juga, sebagai bangsa Indonesia, kepentingan sosial harus diutamakan tanpa mengubah suatu keimanan sedikit pun. Menjaga gereja untuk keamanan sosial dan iman orang yang menjaga gereja ini tentunya tidak harus ‘menyesuaikan’ dengan keimanan gereja. Artinya, orang Muslim pun bisa turut menjadi bagian keamanan tanpa harus menggerus secuil pun keimanannya.
Selain itu, menjaga gereja bukanlah sebagai wujud untuk membantu terjadinya dosa, kefasikan, dan kemusyrikan, tetapi merupakan upaya secara bersama untuk menghindari suatu mafsadah (kerusakan). Dari sini, tentunya tidak ada paksaan dan ketakutan akan iman yang tertukar. Apalagi narasi mensukseskan kemusyrikan. Hentikan narasi yang memecah belah. Beda agama bukan alasan untuk tidak saling menjaga!
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah