Masa lalu adalah akar, tetapi kita tidak hidup di akar. Kita hidup di ranting dan daun yang menjulang ke masa depan.
Sejarah adalah cermin. Ia merekam jejak-jejak manusia dalam menapaki jalan kehidupan, dengan segala gelap dan terang, tragedi dan kemenangan, mitos dan logos. Namun, cermin sejarah bukan untuk kita tempelkan ke wajah masa kini. Ia adalah penuntun, bukan peta. Ia adalah pelajaran, bukan tempat kembali.
Adalah keliru jika kita mencoba membalik arah gerak zaman demi mengejar bayang-bayang kejayaan masa lalu yang seringkali lebih merupakan romantisme ketimbang realitas. Keliru jika melihat realitas saat ini dapat diselesaikan dengan ide-ide lama yang terlihat sangat utopis. Bukan karena ia tidak nyata, tetapi realitas zaman telah berubah.
Para sahabat yang sering meneriakkan perjuangan khilafah di tengah kondisi zaman yang berubah saat ini, bukan karena khilafah tidak pernah eksis, tetapi tidak akan efektif menyelesaikan zaman yang terus berubah. Terlalu menyia-nyiakan energi untuk kembali ke masa lalu, padahal masa depan menuntut suatu perubahan dan lompatan ide dan pemikiran.
Di sepanjang sejarah peradaban manusia, kita menyaksikan bahwa kemajuan lahir dari kesediaan untuk berubah, beradaptasi, dan menjawab tantangan zaman dengan keberanian. Peradaban Mesopotamia, Mesir, Yunani, hingga dunia Islam klasik dan Eropa modern, semua mengalami puncak kejayaannya karena mampu meninggalkan pola lama yang tidak lagi relevan.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, perubahan tidak terjadi secara linier, melainkan melalui apa yang disebut Thomas S. Kuhn sebagai scientific revolutions—lompatan paradigma dari mitos ke rasio, dari geosentris ke heliosentris, dari Newton ke Einstein. Lompatan paradigma struktur sosial-politik pun terjadi. Dari imperium, kesultanan, ke negara bangsa hingga kerjasama antar negara.
Gerak zaman terus berubah, sementara kita masih terpaku dengan indahnya masa lalu. Seolah kisah itu akan terulang dalam bentuk yang sama di masa kini. Sebagian anak-anak muda kita yang masih dalam taraf pemikiran yang inovatif dan kreatif dikungkung dalam kenangan masa lalu. Pemikiran jernihnya dibekukan oleh doktrin keemasan masa lalu yang dijanjikan akan diulang.
Anak-anak muda itu dipaksa mundur ke belakang di tengah gelombang perubahan yang kian cepat. Pikirannya dikonstruksi untuk merindukan “kejayaan masa silam” dan berusaha menghidupkannya kembali dalam lanskap kehidupan kontemporer. Inilah jebakan romantisme sejarah yang membutakan kita dari kenyataan bahwa masa lalu tidak selalu lebih baik, dan bahwa zaman terus bergerak dengan konteksnya sendiri.
“Each age must find its own way to make sense of the universe,” kata Carl Sagan. Maka, mengusung sistem-sistem kuno di tengah arus globalisasi, demokratisasi, dan revolusi teknologi hari ini, bukan hanya ahistoris tetapi juga antikemajuan. Betapa pun megahnya kisah lampau itu dikisahkan, ia tetap tidak berada dalam dunia realitas kini yang diwarnai oleh kompleksitas sosial, ekonomi, dan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Gerak sejarah adalah keniscayaan. Tidak ada yang bisa melawan arus waktu. Yang bisa dan seharusnya kita lakukan adalah menjadikannya inspirasi, bukan destinasi. Menjadikan masa lalu sebagai pelajaran, bukan alat untuk menghakimi masa kini. Sebab masa lalu yang agung pun tidak luput dari kegagalan, dan masa kini yang rapuh pun menyimpan potensi besar untuk tumbuh.
Michel Foucault pernah mengatakan bahwa setiap zaman memiliki regime of truth-nya sendiri—cara berpikir, cara merasa, dan cara memahami dunia yang dibentuk oleh struktur kekuasaan dan pengetahuan. Maka, memaksakan sistem atau pola pikir masa lalu ke dalam kerangka hari ini seringkali berakhir bukan pada kemajuan, tetapi pada penindasan baru yang tidak relevan.
Dalam Islam sendiri, kaidah fikih pun digali menghasilkan pesan sangat jelas. “Hukum mengikuti perubahan waktu dan tempat (konteks). Maksudnya jelas: setiap masa punya tantangan dan pendekatannya sendiri. Bahkan Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak pernah mengkultuskan masa lalu, tetapi justru berulang kali meminta manusia untuk tafakur, tadabbur, dan tasyakur—membaca tanda-tanda zaman, bukan membeku dalam nostalgia.
Sikap menolak perubahan dengan alasan menjaga kemurnian atau kejayaan masa lalu bukan hanya naif, tapi juga membahayakan. Ia bisa melahirkan fundamentalisme, intoleransi, dan kejumudan intelektual. Padahal, seluruh capaian peradaban manusia—dari sains, seni, hingga demokrasi—lahir dari keberanian untuk menggugat yang lama dan membuka diri pada yang baru.
Tentu bukan berarti kita membuang masa lalu. Tidak. Masa lalu adalah akar, tetapi kita tidak hidup di akar. Kita hidup di ranting dan daun yang menjulang ke masa depan. Sebab seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari: “History began when humans invented gods, and will end when humans become gods.” Dunia terus bergerak. Ilmu pengetahuan terus berkembang. Kemanusiaan terus berevolusi. Maka kita pun, sebagai bagian darinya, mesti memilih untuk tumbuh, bukan mengkerut.
Di era penuh tantangan ini—dari krisis iklim, disrupsi teknologi, hingga konflik geopolitik—yang kita butuhkan bukan romantisme masa silam, tapi imajinasi dan inovasi. Bukan menoleh ke belakang, tapi menatap ke depan dengan kesiapan, keberanian, dan kebaruan. Bukan terus menghabiskan energi dengan meneriakkan khilafah, tetapi menggunakan sejarah masa lalu sebagai inovasi mencari maslahah.
Zaman ini memanggil kita untuk hadir dengan kesadaran baru, bukan dengan ide-ide usang yang dikemas ulang. Maka, mari kita hormati masa lalu, kita ambil pelajarannya, tetapi kita hadapi hari ini dan masa depan dengan keberanian yang segar—dengan ilmu, dengan visi, dan dengan tekad untuk tidak mundur.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah