islam dan barat

Menyoal Macron tentang “Terorisme Islam”, Islamofobia dan Terorisme adalah Lingkaran Setan yang tak Berujung

Langkah Mundur Hubungan Islam dan Barat

Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan tegas dan eksplisit mengatakan Eropa sedang melihat ancaman kebangkitan “terorisme Islam”. Term terorisme Islam yang digunakan oleh Macron sebagai respon atas dua kejadian yang terjadi di negaranya terkait penikaman seorang guru dan pembunuhan terhadap penggemar tim nasional Swedia di Belgia.

Pernyataan Macron tentang terorisme Islam sekali lagi bukan istilah yang sangat tepat. Meskipun belakangan ISIS mengklaim berada di balik kejadian itu, tetapi tidak bisa menyimpulkan sebagai terorisme Islam. Pernyataan ini jelas sangat melukai umat Islam yang jelas bukan agama teror dan tidak sedikitpun melegitimasi tindakan teror.

Harus diakui pernyataan Macron merupakan langkah mundur dari hubungan Islam dan Barat yang mulai dibangun atas asas saling percaya dan memahami. Pernyataan yang menyudutkan tersebut seolah mengungkit luka lama dari kedua belah pihak yang dapat memicu kemarahan dan tidak yang tidak produktif ke depan.

Bagaimanapun, Barat secara umum tidak bisa serta merta melontarkan cap yang kurang bijak dengan menambah stereotip terhadap Islam. Munculnya aksi teror yang mengatasnamakan Islam adalah murni kejahatan kemanusiaan yang tidak terkait dengan ajaran Islam, tetapi dilakukan oleh oknum orang yang beragama Islam.

Pandangan stereotip terhadap Islam merupakan bentuk kristalisasi islamofobia yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Barat. Terorisme dan Islamofobia adalah lingkaran setan yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh Barat.

Hubungan antar keduanya sangat membingungkan. Terorisme yang dilakukan oleh oknum umat Islam seolah menjadi hubungan timbal balik dengan islamofobia di dunia Barat. Islamofobia dapat memunculkan terorisme oleh oknum umat Islam. Sementara terorisme semakin menguatkan pandangan stereotip Barat terhadap Islam. Mana yang mendahului?

Islamofobia: Menciptakan Terorisme?

Islamofobia adalah ketakutan atau kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Ini sering kali muncul sebagai hasil dari kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecil individu atau kelompok yang mengaku sebagai perwakilan Islam. Barat melakukan generalisasi dengan memupuk ketakutan, kebencian dan keterancaman dari serangan umat Islam. Pandangan dikonstruksi cukup lama dengan pendekatan opini dan media.

Edward Said, seorang teoretikus terkenal dalam kajian poskolonial, mengemukakan dalam bukunya “Orientalisme” bahwa media Barat dan politik sering kali mempresentasikan Islam sebagai musuh yang meresahkan. Hal ini berkontribusi pada penciptaan islamofobia.

Barat mendorong Islamofobia seolah menjadi perbincangan dan kebijakan publik. Pembakaran Al-Quran yang kerap muncul dan dilindungi oleh negara barat sebagai bentuk kebebasan memunculkan reaksi dari sebagian kecil umat Islam dengan cara destruktif. Pelarangan identitas Islam di ruang publik juga menjadi satu paket ketakutan yang dibentuk oleh sistem negara Barat.

Islamofobia pada akhirnya menciptakan krisis identitas di kalangan umat Islam. Krisis identitas sebagaimana Homi K. Bhabha timbul ketika budaya atau agama tertentu, dalam hal ini Islam, digambarkan dalam kerangka negatif, sehingga individu-individu yang merasa terpinggirkan atau diidentifikasi sebagai anggota kelompok tersebut merasa semakin terisolasi. Hal ini dapat mendorong sebagian dari mereka untuk merespons dengan tindakan radikal, termasuk terorisme.

Terorisme: Memicu Islamofobia?

Sebaliknya, terorisme yang dilakukan oleh oknum umat Islam dapat memicu islamofobia di dunia Barat. Sebagian besar pakar sejarah kontemporer, seperti Karen Armstrong, telah menyoroti bahwa islamofobia bukanlah fenomena baru dan telah ada jauh sebelum serangan terorisme modern. Namun, serangan-serangan teror baru-baru ini, seperti serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, telah meningkatkan intensitas dan meluasnya islamofobia.

Teori konflik dan perspektif perang melawan terorisme yang dianut oleh pemerintah Barat telah memberikan dasar bagi memicunya islamofobia. Pemerintah dan media sering kali memosisikan Islam sebagai ancaman global. Samuel Huntington, dalam artikelnya yang kontroversial berjudul “The Clash of Civilizations,” menggambarkan dunia sebagai medan perang antara peradaban, dengan Islam dianggap sebagai musuh besar Barat. Islam dikonstruksi menjadi ancaman nyata setelah berakhirnya musuh ideologis Uni Soviet.

Siklus Berbahaya: Terjebak dalam Spiral Negatif

Siklus Islamofobia dan terorisme menciptakan spiral negatif dan tindakan yang destruktif. Terorisme oleh oknum umat Islam menciptakan ketakutan di masyarakat Barat, yang selanjutnya memicu respons yang lebih keras terhadap umat Islam. Hal ini dapat menciptakan rasa ketidakamanan di kalangan umat Islam yang merasa diidentifikasi secara kolektif sebagai teroris potensial, yang kemudian bisa menjadi faktor pendorong untuk rekrutmen oleh kelompok ekstrem.

Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah pendekatan yang lebih akal sehat dan berbasis bukti. Berdasarkan teori komunikasi dan pemberitaan, perlu adanya tanggung jawab media dalam melaporkan terorisme tanpa memicu islamofobia. Penekanan pada individu yang melakukan terorisme, bukan seluruh komunitas, dapat mengurangi dampak islamofobia.

Selain itu, pendekatan dialog kebudayaan, peradaban dan agama penting dilakukan untuk mencairkan pandangan umat Islam terhadap Barat dan citra umat Islam di mata Barat. Barat harus lebih bijak melihat Islam dalam spektrum yang lebih besar dan luas. Sebaliknya umat Islam harus mampu beradaptasi dengan perubahan dan tidak mudah terpancing provokasi yang bisa menimbulkan sikap destruktif.

Siklus berbahaya antara terorisme yang dilakukan oleh oknum umat Islam dan islamofobia di dunia Barat adalah masalah yang kompleks dan harus dipecahkan bersama-sama. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang teori konflik, media, dan tindakan pencegahan, mungkin kita dapat memecah siklus ini. Upaya kolaboratif yang melibatkan pemerintah, media, dan masyarakat sipil perlu dilakukan untuk mengatasi ancaman terorisme sambil menjaga keadilan dan toleransi terhadap umat Islam.

Lingkaran setan dari siklus islamofobia dan terorisme harus dipangkas. Putaran keduanya tidak akan berhenti jika masih ada yang satu pihak menyulut keadaan. Ruang dialog dan edukasi dengan pendekatan media patut dilakukan. Menahan diri untuk melakukan penghakiman, sekaligus menahan diri dari provokasi untuk tidak melakukan aksi destruktif harus dilakukan kedua belah pihak. Jangan memancing provokasi baik pernyataan dan aksi yang dapat menguatkan lingkaran setan tersebut.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Eks Napiter di Batanghari lepas baiat dan ikrar setia NKRI

Lepas Baiat dan Ikrar Setia NKRI, Eks Napiter: Semoga Kami Istiqamah Jalankan Ajaran Islam yang Benar

Batanghari – Program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus …

Haedar Nashir

Ormas Keagamaan Harus Naik Kelas, Tidak Boleh Jadi Benalu Tapi Harus Mandiri

Yogyakarta – Organisasi sosial kemasyarakatan berbasis agama harus memiliki kesadaran untuk berubah naik kelas, tidak boleh …