Dakwah adalah upaya mengajak kepada ketaatan dan kebaikan berdasarkan ajaran agama. Namun, dakwah seringkali hanya memusatkan pada pembentukan perilaku individu dalam mewujudkan kesalehan personal (teologis) dan sosial (sosiologis). Kesalehan ekologis belum menjadi concern para juru dakwah. Materi keagamaan tentang tanggungjawab terhadap lingkungan masih minim terlihat di mimbar masjid, ceramah keagamaan dan konten dakwah digital.
Tantangan manusia kontemporer tidak hanya berupa problem sosial, tetapi tidak kalah mengerikan dari perang, konflik dan permusuhan adalah kerusakan ekologis yang dapat menimbulkan bencana. Ketamakan terhadap alam dan keganasan eksploitasi lingkungan demi keuntungan ekonomi telah menjadi penyakit manusia yang layak mendapatkan perhatian serius dari para juru dakwah.
Kebaikan dalam agama-baik dalam tataran perintah wajib, larangan dan sunnah-mencakup kebajikan ekologis yang tidak bisa dinafikan. Banyak ayat-ayat al-Quran dengan nada perintah dan larangan yang berbicara pentingnya menjaga lingkungan tidak menjadi bahan kajian pembuatan hukum yang menggairahkan ulama. Pada level hadist, praktek Nabi tentang menjaga dan mengonservasi lingkungan juga belum menjadi standar amaliyah sunnah yang semarak di tengah masyarakat.
Kentalnya Antrposentrisme-Ekonomi dalam Tafsir Juru Dakwah
Ketika berbicara tentang surat AL Qasas : 77 : “…Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” Kalimat larangan dalam hadits ini tidak pernah dicerna dalam kerangka ushul fikih sebagai bentuk hukum haram. Ayat ini juga sangat jarang diberikan penceramah di dalam materi dakwahnya.
Jika pun dikutip, penafsiran dan pengertiannya masih sangat antroposentrisme. Misalnya, pengertian kerusakan di bumi masih terbatas pada ketidakbolehan perang dan konflik yang dapat merusak lingkungan dan bencana sosial lainnya. Kepentingan bumi dalam arti yang sesungguhnya seperti penebangan hutan, pencemaran air, emisi gas rumah kaca, pencemaran sungai dan lainnya belum menjadi mindset para penceramah.
Hal yang serupa terjadi dalam konteks pemaknaan amaliyah sunnah. Sunnah dalam kacamata sebagian penceramah masih seputar etika personal dan sosial seperti cara berpakaian, bersalaman dan bertamu. Belum muncul etika ekologis sebagai bagian sunnah Nabi yang disampaikan penceramah. Akibatnya, takaran perilaku sunnah, lagi-lagi, masih sangat antroposentris.
Adakah penceramah yang secara khusus mengumbar-minimal melirik-hadist semisal “tidaklah seorang muslim menanam pohon atau tanaman, melainkan itu menjadi sedekah baginya”. Hadist ini sebenarnya menjadi dasar yang luar biasa pada pemeliharaan lingkungan. Adakah penceramah yang mengulas ini?
Jawabannya ada, tetapi, untuk kesekian kalinya, kita harus mengatakan penafsirannya masih sangat antroposentris. Pada prakteknya, pemahaman yang muncul adalah pohon itu akan menjadi sedekah bagi orang yang selanjutnya memanfaatkannya baik untuk berteduh, maupun memanfaatkan buahnya. Tidak ada penafsiran hak lingkungan dari praktek menanam pohon tersebut.
Ketidakseimbangan dalam mengumbar ayat dan dalil antara perspektif antroposentris-ekonomi dengan ekosentrisme-ekologi pada akhirnya berimbas pada pemaknaan relijius atas bencana ekologis. Ketika bencana datang sebagai hasil dari ulah manusia (man- made disaster) seperti pemanasan global, banjir, longsor dan sebagainya, tafsir bencana yang muncul dari para juru dakwah adalah azab bagi perilaku yang tidak sesuai dengan kepentingan dogma bukan kepentingan ekologis.
Sebagai contoh, saat juru dakwah berbicara tafsir Surat Ar Rum 41 tentang kerusakan di bumi karena ulah manusia dan bencana sebagai ulah manusia dalam As-Syura 30, tafsir yang muncul adalah bencana sebagai azab dan balasan dosa dari perilaku manusia. Bencana adalah balasan terhadap perilaku yang melanggar syariat karena di daerah tersebut marak kemaksiatan seperti zina, perjudian, dan kemaksiatan sosial lainnya.
Juru dakwah secara berapi-api membungkus tafsir bencana dengan pelanggaran syariat. Bencana, menurut sang da’i, sebagai balasan Tuhan terhadap sebagian manusia karena pelanggaran syariat dan nroma agama. Pelanggaran syariat agama di sini dimaknai tidak meluas hingga pelanggaran ekologis sebagai bagian penting dari perintah dan larangan agama.
Mengenalkan Dosa-dosa Ekologis dan Kemaksiatan Korporasi
Sampai pada titik ini, kita menemukan akar persoalannya : mindset atau paradigma beragama yang terkungkung dalam ruang sempit antroposentrisme penafsiran. Bukan agama (baca Islam) tidak menyediakan ruang dan amunisi dalil yang banyak tentang lingkungan, tetapi pemuka agama dan para ulama memandang sebelah mata atau terkadang menutup mata terhadap tafsir-tafsir ekologis.
Akibat peminggiran narasi ekologi dalam agama mengakibatkan dalam kurun waktu yang cukup lama, umat Islam tidak pernah memperhatikan-dalam nada ekstrem mengabaikan- hak-hak lingkungan dalam perspektif perintah agama. Larangan, dosa dan istilah maksiat hanya berlaku di ruang pergaulan invidual dan sosial, tidak pernah berlaku pada tindak pelanggaran ekologis.
Karena itulah, dakwah harus memainkan peran pentingnya untuk mengarusutamakan materi-materi ekologis. Larangan-larangan dalam agama tidak berhenti pada kepentingan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesame manusia semata, tetapi juga kepentingan relasi manusia dengan ekosistemnya.
Sebagai langkah kongkret, juru dakwah harus segera mengenalkan dosa-dosa keagamaan tidak hanya berupa pelanggaran terhadap kewajiban ritual dan sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap lingkungan. Dosa individual maupun kemaksiatan kolektif yang dilakukan korporasi dalam mengeksploitasi alam seharusnya menjadi materi dakwah yang berapi-api para juru dakwah.
Saya membayangkan jika materi khutbah jumat, terdapat 1 tema khusus lingkungan di dalam satu bulan pelaksanaan shalat jumat. Saya juga membayangkan porsi materi dakwah baik digital maupun konvensional menyelipkan nasehat-nasehat tentang paket beragama yang meliputi ketakwaan, kesalehan ritual dan sosial, serta kesalehan ekologis.
Kita sudah banyak mendengar nasehat-nasehat agama seperti : tingkatkanlah ketakwaan kepada Allah, istiqamahlah dalam beribadah, jangan pernah meningglakan bersilaturrahmi dan bersedekahlah kepada anak yatim dan mereka yang tidak mampu.
Umat juga harus diajari dan dinasehati tentang hal sederhana tentang lingkungan sebagai perintah agama. Misalnya : buanglah sampah pada tempatnya karena membuang kerikil di jalan pun adalah sedekah, jangan merusak sungai dengan timbunan sampah karena Allah melarang membuat kerusakan di muka bumi, bersedekahlah kalian dengan menanam dan menjaga pohon di lingkungan sekitar dan contoh lainnya.
Tentu saja, tidak hanya persoalan ringan tersebut, juru dakwah harus juga memperingatkan dosa dan kemaksiatan korporasi yang telah tamak melahap lahan terbuka hijau, hutan, dan pencemaran sungai akibat aktivitas pabrik. Ketegasan juru dakwah diuji tidak hanya sangar terhadap kemaksiatan sosial, tetapi juga kemaksiatan ekologis.
Sudah saatnya dakwah mengambil peran profetiknya secara utuh dengan membuka suara bagi kepentingan ekologis yang selama ini terpinggirkan. Dakwah yang membebaskan, bukan hanya mengajarkan rukuk dan sujud atau juga kepekaan sosial melalui sedekah dan zakat. Dakwah harus juga menyuarakan tangisan bumi dan mencintai ciptaan Allah dengan cara yang paling nyata: menjaga dan merawatnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah