kelaparan

Musibah Lapar dan Musibah Iman

Kelaparan adalah salah satu bencana terbesar yang pernah dihadapi umat manusia sepanjang sejarah. Kombinasi faktor-faktor alam seperti kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya, serta faktor sosial-politik seperti perang, ketidakadilan distribusi pangan, dan kebijakan pemerintah yang buruk menjadi pemicu musibah kelaparan yang mematikan.

Bencana kelaparan tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik berupa kematian, tetapi juga mempengaruhi struktur sosial, menghancurkan keluarga, dan memaksa migrasi massal dan kekacauan sosial yang tidak bisa dihindari. Lapar yang begitu lekat dengan urusan perut menjadi faktor perubahan karakter manusia.

Bencana kelaparan tidak hanya menyebabkan penderitaan fisik berupa kematian, tetapi juga mempengaruhi mental dan spiritual seseorang. Ketakutan akan lapar bisa membutakan akal dan hati manusia. Karena lapar seorang bisa tertutup mata dan kalap melakukan tindakan apapun.

Lapar menyebabkan keimanan menjadi tipis. Ketika lapar melanda, iman diuji dengan sebenar-benarnya. Mampukah seseorang mempertahankan keimanannya di tengah lapar? Atau haruskah lapar menyebabkan musibah iman kepada diri?

Allah menyebutkan bahwa kelaparan adalah salah satu bentuk ujian yang diberikan kepada manusia untuk menguji kesabaran dan keimanan mereka. Dalam Surah Al-Baqarah (2:155), Allah berfirman bahwa Dia akan menguji manusia dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dalam ujian ini, mereka yang sabar akan diberikan kabar gembira.

Pandangan ini menekankan bahwa kelaparan bukan semata-mata bentuk penderitaan, tetapi juga sarana untuk mengukur seberapa teguh seseorang bertahan dalam kesabaran dan ketakwaan kepada Allah.

Sederhananya, jika dalam kondisi kenyang dan kaya, orang menjadi beriman itu hal biasa, tetapi ketika lapar apakah orang masih memegang teguh iman?

Di sinilah Islam menempatkan lapar sebagai ujian agar manusia tetap dalam koridor keimanan. Lapar bukan alasan seseorang harus menggadaikan iman.

Namun, ujian orang berbeda-beda. Orang miskin dengan kelaparannya diuji dengan kesabaran, orang kaya dengan kekeyangannya sejatinya sedang diuji atas kedermawanannya. Bukan orang beriman jika membiarkan orang lain masih merasakan lapar.

Dalam sebuah hadist “Bukanlah orang yang disebut mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.”(HR. Bukhari).

Hadis ini menekankan bahwa tanggung jawab seorang Muslim bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat di sekitarnya. Hadist ini juga mengandung pengertian bahwa keimanan bukan sekedar tentang keyakinan teologis semata, tetapi praktek membebaskan orang lain menghadapi lapar adalah sebuah bentuk iman yang nyata.

Islam memandang kedermawanan dengan memberikan makan kepada orang yang lapar bukan sekedar empati sosial semata, tetapi bentuk keimanan. Tindakan memberi makan kepada mereka yang kelaparan memiliki dimensi spiritual yang sangat dalam, di mana setiap tindakan berbagi akan dibalas dengan pahala yang besar di akhirat.

Nabi bersabda : “Barangsiapa yang memberi makan seorang mukmin sampai kenyang dari rasa lapar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam salah satu pintu surga.” (HR. Tirmidzi).

Akhirnya, kemiskinan dan kelaparan adalah bukan sekedar problem sosial semata, tetapi problem teologis-keagamaan. Islam menempatkan kelaparan sebagai bentuk ujian bagi orang miskin untuk bersabar menghadapi ujian, sekaligus ujian bagi orang kaya untuk melakukan tindakan kedermawanan dan pembebasan terhadap kondisi sosial.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

BRIN Moderasi Beragama

Moderasi beragama Bukan Sekadar Konsep Akademik, Tapi Jalan Tengah Untuk Beragama secara Damai, Inklusif, dan Berkeadaban

Jakarta — Meningkatnya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama menunjukkan bahwa paham radikal masih memiliki …

Prof M Suaib Tahir PhD

Jihad Palsu di Balik “Ukhuwah Global”: Umat Diminta Waspada Propaganda ISIS

Jakarta — Kelompok teroris ISIS kembali menyebarkan propaganda bermuatan ajakan jihad ke berbagai negara konflik, …