nasionalisme dan ukhuwah

Nasionalisme dan Ukhuwah Islamiyah: Relasi yang Sering Disalahpahami

Beberapa kalangan-walaupun cuma segelintir- masih menganggap nasionalisme sebagai konsep yang berbahaya bagi umat Islam. Selain karena secara derivative itu dianggap konsep Barat, mereka beranggapan nasionalisme juga mengancam ukhuwah Islamiyah. Intinya, nasionalisme dan ukhuwah dihadapkan pada posisi yang bertentangan. Islam vs Barat, begitulah kira-kira dalam benak mereka.

Secara argumentatif dan meyakinkan, kelompok ini menilai nasionalisme sebagai proyek modernitas Barat yang bersifat sekuler dan membatasi solidaritas umat Islam pada batas-batas negara bangsa. Namun, memang cukup aneh, ukhuwah Islamiyah – dalam versi mereka-sering dipahami secara sempit sebagai solidaritas eksklusif antar-Muslim yang menolak konsep kebangsaan. Artinya, yang muslim pun masih dikategorikan lagi sebagai dalam kategori in group dan out group.

Biar tidak salah memahami dan sering pula dijadikan alat untuk menyalahkan pemahaman orang lain, mari coba kita bedah relasi ini nasionalisme vs ukhuwah ini. Benarkah keduanya tidak dapat berjalan beriringan? Atau justru, dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia, kita membutuhkan sintesis yang sehat antara keduanya?

Nasionalisme: Kontrak Sosial yang Menjaga Maslahah Ammah

Francis Fukuyama, seorang pakar ilmu politik dari Stanford University, dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), menyatakan bahwa nasionalisme sipil (civic nationalism) adalah jawaban atas tantangan era identitas yang berlebihan. Bagi Fukuyama, nasionalisme tidak harus eksklusif dan rasis; ia bisa menjadi alat pemersatu masyarakat multietnis dan multiagama dalam satu ikatan kewargaan yang adil.

Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang dibangun oleh para pendiri bangsa adalah nasionalisme kebangsaan (civic nationalism), bukan etnik atau religius. Nasionalisme ini menerima keragaman sebagai fondasi, bukan ancaman. Inilah yang menjadikan Pancasila dan NKRI tetap kokoh hingga kini.

Nasionalisme, dalam konteks ini, sebenarnya bukan penghambaan kecintaan terhadap kelompok (ashabiyah) yang dilarang dalam Islam, tetapi sebagai konsep kontrak sosial dalam menjaga keutuhan masyarakat. Jika mau membandingkan, nasionalisme dapat dipadankan dengan konsep ummah dalam Islam.

Ummah adalah terminologi Islam yang merujuk pada komunitas yang memiliki kontrak sosial. Maka, komunitas Madinah disebut satu ummah oleh Nabi yang saling menjaga antar satu dengan lainnya meskipun terdiri umat dan bangsa yang beragam. Kewajiban individu dalam ummah adalah saling melindungi terutama dari invasi orang luar. Inilah yang disebut tanggungjawab civic responsibility.

Ukhuwah Islamiyah: Spirit Solidaritas Global yang Kontekstual

Sementara itu, ukhuwah Islamiyah adalah ajaran fundamental dalam Islam yang menekankan pentingnya persaudaraan sesama Muslim di seluruh dunia. Akan tetapi, ukhuwah tidak berarti mengabaikan loyalitas kepada negara tempat seorang Muslim tinggal. Artinya, ukhuwah tidak akan mengkhianati ummah.

Kesetiaan kepada negara bangsa bukan bertentangan dengan Islam. Justru, Islam mendorong umatnya menjaga perdamaian dan stabilitas di tempat mereka hidup. Penghormatan terhadap konstitusi dan hukum nasional sebagai bentuk tanggung jawab sosial adalah perintah agama. Menaati pemimpin dan perangkat peraturan yang dilahirkan tidak hanya tanggungjawab dan kewajiban sosial, tetapi kewajiban agama.

Karena itulah, ulama kontemporer memandang pentingnya membangun fiqh al-muwathanah (fikih kewarganegaraan) sebagai pendekatan baru dalam merespons realitas negara bangsa di dunia Islam. Dalam kerangka ini, ukhuwah Islamiyah bukan meniadakan identitas kebangsaan, melainkan menguatkan solidaritas dengan tetap menghormati sistem yang berlaku.

Menolak Narasi Dikotomik, Membangun Jembatan Sinergis

Di banyak tempat, terutama di media sosial, berkembang narasi yang mencoba membenturkan nasionalisme dengan ukhuwah Islamiyah. Kelompok-kelompok ekstrem menggunakan retorika ukhuwah untuk menolak loyalitas kepada negara, sembari menuding nasionalisme sebagai bentuk sekularisme kafir.

Padahal, dalam pandangan Islam, loyalitas kepada negara bangsa adalah bagian dari maslahah ‘ammah (kepentingan umum) yang dilindungi syariat. Bahkan dalam Fiqh Siyasah klasik, konsep ‘aqd al-muwathanah (kontrak kewarganegaraan) sudah diakui dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW melalui Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).

Di tengah dinamika kebangsaan dan keumatan saat ini, yang kita perlukan adalah membangun jembatan antara nasionalisme dan ukhuwah Islamiyah. Keduanya harus dilihat bukan sebagai dua jalan yang berseberangan, melainkan sebagai dua sayap yang bisa membawa umat Islam terbang tinggi: menjaga tanah air, sekaligus peduli terhadap saudara seiman di berbagai belahan dunia.

Nasionalisme memberi kita rumah, identitas hukum, dan ruang aktualisasi; sementara ukhuwah Islamiyah memberi kita semangat solidaritas, kepedulian lintas batas, dan kesadaran sebagai bagian dari umat global. Bila keduanya dikelola dengan bijak, Islam dapat hadir sebagai kekuatan moral dalam membangun bangsa, dan Indonesia menjadi pelopor Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab sejarah untuk menunjukkan bahwa nasionalisme dan ukhuwah Islamiyah dapat berjalan bersama. Kita bisa cinta tanah air tanpa menjadi eksklusif. Kita bisa membela umat Islam global tanpa merusak kedaulatan negara.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Dr Emrus Sihombing MSi

Puji Langkah BGN Respon Kritik, Pengamat: Perkuat Implementasi di Lapangan

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai menunjukkan sikap terbuka dalam menjalankan Program Makan Bergizi …

banjir

Teologi Lingkungan dalam Islam: Membaca Bencana Sumatera sebagai Peringatan dan Pelajaran

Gelombang bencana yang melanda Sumatera dalam beberapa waktu terakhir—banjir bandang di Padang, longsor di Sibolga, …