Jakarta – Penafsiran yang diajarkan Negara Islam Indonesia (NII) tentang lima rukun Islam, mulai dari mengucapkan syahadat, salat, zakat, puasa, hingga tentang haji berbeda jauh dengan pemahaman umat Islam pada umumnya di Indonesia. Malah, lima rukun Islam itu dijadikan sebagai program oleh NII.
“Misalnya yang dijadikan sebagai program, pertama syahadat itu menjadi binayatul aqidah (pembangunan akidah). Lalu, sholat menjadi binayatul dzorfiyah (teritorial). Terus misalnya terus zakat binayatul maliayah (dana), terus puasa binayautul masuliyah (aparat), lalu haji menjadi Binayatul Silah wal Muasolah (pembangunan komunikasi,” kata Peneliti NII dan Ma’had Al Zaytun, Sukanto dikutip dari su Senin (10/7/2023).
Ia menambahkan bahwa syahadat merupakan kesaksian bagi orang yang ingin masuk Islam. Namun, dalam penafsiran NII, syahadat itu bukan tiada Tuhan selain Allah tapi tiada negara kecuali Negara Islam. Barang siapa bernegara selain negara Islam maka akan dianggap kafir.
“Setiap jamaah NII yang ajarkan bahwa syahadat itu memang prosesi orang masuk Islam, tapi berislam bagi mereka itu bernegara terkait dengan tauhid awalnya, yaitu rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyyah,” jelas mantan mantan aktivis NII pada 1996 sampai 2001 ini.
Sukanto menjelaskan, konsep tauhid rububiyah (hukum), mulkiyah (tempat), dan uluhiyah (umat) tersebut merupakan konsep bernegara bagi NII. Itu ditafsirkan dari Surat Ibrahim ayat 24-25 bahwa kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.
“Itu diartikan oleh mereka kalau akarnya hukum Islam maka negaranya Islam dan umatnya pasti umat Islam,” ujar Sukanto.
Lalu pohon yang buruk seperti apa? Menurut Sukanto, NII mengomparasikan dengan Pancasila. Dalam pemahaman NII, menurut dia, kalau akarnya Pancasila maka negaranya Pancasila dan umatnya adalah umat Pancasila sehingga, dalam konsep ini tidak ada umat Islam.
“Itu konsep tauhidnya NII. Jadi mengatakan bahwa kalau beragama itu ya bernegara Islam. Berarti di luar negara Islam itu kafir. Nah dari konsep itu kemudian penafsiran syahadat menjadi bahwa saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan, nah kata Allah itu direpresentasikan sebagai negara,” jelas Sukanto.
“Jadi dalam syahadatnya, saya bersaksi bahwa tidak ada negara kecuali negara Islam dan saya Muhammad, pelaksana risalah negara-negara Islam,” katanya.
Dia mengatakan, setiap warga NII yang bersyahadat itu menyatakan dirinya sebagai Rasul atau pembawa risalah itu. Karena itu, penafsiran NII tentang rukun Islam yang pertama ini sudah sangat melenceng.
“Setiap diri orang yang bersyahadat itu menyatakan dirinya itu Rasul, pembawa risalah. Jadi penafsiran terhadap rukun Islam itu jauh karena terkait dengan doktrin utamanya,” ungkap Sukanto.