ormas sebagai pelopor

Ormas sebagai Pelopor Perubahan, Bukan Perusak Peradaban

Ketika kita membicarakan ormas (organisasi kemasyarakatan) hari ini, terbesit secara tidak sadar adalah tentang keributan, bentrok, atau kekisruhan di jalanan. Ada pula yang berasosiasi dengan ingatan ormas terlarang dan yang sudah dibubarkan. Kenapa ormas menjadi kesan yang tidak baik?

Belajar dari Sejarah

Jika kita menengok sejarah Indonesia, ormas justru lahir sebagai pelopor kemerdekaan, penggerak perubahan, dan pembangun peradaban. Budi Utomo — organisasi pertama yang lahir pada 1908 — misalnya bukanlah sekadar komunitas eksklusif para pelajar, melainkan sebuah lonceng kesadaran nasionalisme.

Dari ormas Budi Utomo, bara semangat “bangsa Indonesia” perlahan menyala, menggerakkan lahirnya Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga berbagai organisasi pemuda yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda 1928.

Jika kita mengingat kembali Sarekat Islam pada masa puncaknya mengumpulkan lebih dari dua juta anggota — sebuah pencapaian luar biasa di tengah belenggu kolonialisme. Di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, SI bukan hanya memperjuangkan hak-hak ekonomi bumiputera, tetapi juga menanamkan benih kesadaran politik, bahwa bangsa ini pantas untuk berdiri sendiri.

Lalu dalam gerakan sosial-keagamaan, Muhammadiyah muncul sejak 1912 menggagas revolusi pendidikan dan kesehatan rakyat kecil berbasis nilai Islam modern. KH. Ahmad Dahlan tak mengangkat senjata, tetapi mengangkat pena, papan tulis, dan semangat reformasi sosial. Sebuah jalan sunyi, namun dampaknya abadi.

Tidak kalah penting, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri 1926 untuk menjaga tradisi Islam Nusantara sekaligus menyusun kekuatan moral bangsa. Resolusi Jihad NU 1945 menjadi salah satu faktor penting pecahnya pertempuran heroik 10 November di Surabaya — yang di kemudian hari dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Semua ini menunjukkan satu hal: ormas adalah pelopor perubahan, bukan pembuat onar apalagi perusak peradaban. Ormas adalah pilar peradaban. Mereka hadir untuk mencerahkan, membangun, dan menguatkan bangsa.

Ormas Gadungan yang Ahistoris

Namun kini, pemandangan itu seperti memudar. Sebagian ormas hari ini justru menjelma menjadi kendaraan pragmatis, bahkan kadang alat intimidasi. Ormas menjadi sangat beringas dengan kekuatan anarkisme.

Demokrasi dijadikan tameng untuk membenarkan aksi-aksi yang jauh dari nilai luhur bangsa. Alih-alih melanjutkan tradisi pencerahan dan perubahan, sebagian malah mempertontonkan kekerasan dan menggerus kepercayaan publik.

Muncul berbagai ormas yang dibuatkan berdasarkan kepentingan kelompok dan sangat sekterian. Ada yang berbasis kepentingan finasial dengan kedok ormas. Ada pula ormas yang merasa “hebat” tanpa memahami sejarah dengan ingin merombak total ideologi dan tatanan berbangsa. Mereka bermodalkan kekuatan jalanan dan mobilisir anak muda untuk merubah sistem dengan mimpi yang mereka tanamkan.

Sejarah sudah mengajarkan kita: kekuatan ormas bukan pada otot jalanan, melainkan pada kekuatan ide, keteladanan moral, dan kesediaan membangun dari akar rumput. Kekuatan ormas adalah visi besar tentang kebangsaan, bukan kepentingan kelompok atau politik sekterian yang membelah masyarakat.

Mengembalikan Marwah Ormas

Dalam laporan Kementerian Dalam Negeri 2024, disebutkan ada lebih dari 500.000 ormas terdaftar di Indonesia. Jumlah ini adalah potensi luar biasa. Bayangkan jika masing-masing ormas fokus pada pemberdayaan pendidikan, ekonomi umat, lingkungan hidup, atau kesehatan masyarakat. Nusantara akan bangkit bukan sekadar menjadi bangsa besar, tetapi bangsa berperadaban tinggi.

Muhammadiyah misalnya, saat ini mengelola lebih dari 400 rumah sakit dan 172 perguruan tinggi. NU dengan ribuan jaringan pesantren, sekolah dan perguruan tinggi serta program-program sosialnya terus menjadi tulang punggung moderasi beragama di Indonesia. Ini adalah teladan bahwa ormas bisa menjadi motor kemajuan, bukan sekadar alat mobilisasi.

Inilah ormas dengan visi besar, bukan kepentingan ekonomi sesaat. Bukan kepentingan kelompok yang justru memecah belah dan meracuni anak muda dengan gagasan yang ingin merusak sistem dan ideologi bangsa. Bukan ormas gadungan dengan rasa premanisme yang memalak di jalanan atas nama keamanan.

Ormas seharusnya menjadi rumah bagi gagasan besar, bukan arena baku hantam kepentingan sesaat. Seperti cita-cita para pendiri bangsa: membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur — melalui jalan damai, pendidikan, dan kerja keras kolektif.

Tugas kita hari ini adalah mengembalikan marwah itu. Ormas harus kembali menjadi pelopor perubahan dan pencerahan, pelindung rakyat kecil, dan pembangun jembatan antarbangsa. Karena sejatinya, kekuatan bangsa ini tidak lahir dari amarah di jalanan, melainkan dari semangat kebersamaan yang lahir dari hati yang ikhlas dan visi yang jauh ke depan.

 

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Delegasi AIMEP

AIMEP 2025: Jembatan Lintas Iman dan Budaya Australia-Indonesia

Jakarta – Persahabatan antarbangsa bukan hanya urusan diplomasi, melainkan juga amanah iman untuk saling mengenal …

Studium Generale di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ulama Saudi: Islam Itu Jalan Tengah, Bukan Kekerasan

Jakarta – Moderasi beragama bukan hanya ajaran Islam, tetapi juga fondasi kebangsaan Indonesia. Nilai wasathiyah …