Setelah kita mulai dewasa, kita mulai menyadari bahwa kehidupan di dunia ini tak semudah ketika kita masih kecil yang hanya dengan tangis semua masalah selesai dan terlupakan. Kita, terutama sebagai orang muslim, mulai memikirkan masa depan tentang kehidupan setelah kematian dan hari kiamat, dampak perilaku kita di dunia dan di akhirat kelak dan hal-hal lain yang waktu kecil mungkin hanya kita anggap sebagai sesuatu yang tidak penting atau bahkan tidak terpikirkan. Teori psikologi mengatakan bahwa manusia itu cenderung menginginkan bahagia dan menghindari kesedihan.
Dalam Islam pun, manusia diceritakan sebagai makhluk yang menginginkan kebahagiaan. Hanya saja dalam Islam, kebahagiaan dibagi menjadi dua. Kebahagiaan sementara dan kebahagiaan yang abadi. Tapi sebenarnya kunci atau pangkal dari kebahagiaan di dunia dan akhirat itu sama, yaitu Takwa. Seperti syair yang dilantunkan oleh Syaikh Zainuddin bin Ali al-Malibari :
تَقْوَى الْإِلَهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ * وَتِبَاعُ أَهْوَا رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلَا
Bertakwa pada Tuhan adalah pangkal dari segala kebahagiaan
Dan mengikuti hawa nafsu adalah pangkal keburukan tipuan setan
Untuk mendapatkan semua kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir maupun batin, diperlukan takwa pada Allah Yang MahaEsa. Allah Subhanahu wa taala memberitahukan kita faidah-faidah takwa yang sangat besar, di antaranya adalah:
- Dibersamai Allah, seperti yang telah difirmankan Allah dalam al-Baqarah ayat 194:
- Mendapatkan ilmu laduni, seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282
- Selamat dari neraka, seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat Maryam ayat 72
- Dikeluarkan dari situasi yang sulit, mendapatkan rejeki yang tidak disangka-sangka, kemudahan dalam urusan dan pahala yang besar seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2-5
- Dijanjikan surga seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat al-Qamar ayat 54
- Mendapatkan kemuliaan dari Allah seperti yang telah difirmankan Allah surat al-Hujurat ayat 13. Jadi kemuliaan di sisi Allah bukan sebab nasab, harta, atau hal-hal yang lain. Tapi sebab ketakwaan.
Kemudian apakah takwa itu? Pendapat para ulama sangat beragam. Walaupun kesemuanya hampir memiliki kesamaan yaitu mengerjakan kewajiban kita sebagai muslim semampunya dan harus bisa menghindari perbuatan terlarang. Dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban kita tidak terlalu dituntut dengan keras. Kita dituntut melakukan kewajiban semampu kita seperti hadis yang pernah disabdakan Nabi.
Contohnya kalau tidak punya harta, kita tidak dituntut mengeluarkan zakat atau naik haji. Tapi kalau soal larangan kita dituntut keras untuk bisa menghindarinya. Misal, larangan mencuri (mengambil sesuatu yang bukan hak kita) tidak boleh kita lakukan dalam keadaan apapun. Untuk mencapai takwa ini, kita harus mempelajari kewajiban-kewajiban kita dan larangan-larangan dalam islam yang kita kenal dengan nama Syariat.
Sedangkan pangkal dari keburukan adalah tipuan setan dengan mengikuti hawa nafsu, yang kita kenal dengan nafsu amarah. Jadi, takwa dan mengikuti nafsu amarah ini adalah bertolak belakang. Sedangkan setan adalah yang memprovokasi kita untuk mengikuti hawa nafsu kita.
Oleh karena itu kita diharapkan bisa cerdas dalam memerangi nafsu dan setan walaupun kadang keduanya menasehati kita dengan hal-hal baik. Karena tugas setan adalah menyesatkan, maka kita harus curiga saat nafsu dan setan menyuruh kita.
Kadang kita ingin tahajjud sepanjang malam dan setan memprovokasi kita untuk terus beribadah sepanjang malam yang tujuan sebenarnya adalah agar tidak bisa mengerjakan shalat subuh atau tidak mengerjakan ibadah-ibadah wajib atau ibadah yang lebih besar pahalanya. Maka kita harus curiga dengan keinginan kita dan setan. Sebagaimana kecurigaan Sahabat Rasulullah saw., Muawiyah terhadap setan saat disuruh setan shalat subuh.