Film Dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara yang disponsori oleh eks Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) tayang pada 20 Agustus 2020 bertepatan dengan peringatan Tahun Baru Islam. Propaganda film ini adalah untuk mencerdaskan masyarakat agar melek sejarah dengan tujuan utama sebenarnya jejak khilafah sudah lama ada di Nusantara.
Masih seperti dulu, HTI memang tidak akan berhenti untuk mengkampanyekan perjuangan khilafah sebagai doktrin politiknya. Gagal menarik simpati para ulama dan ormas ketika Ormas ini dilarang di Indonesia, kini mereka mencoba menarasikan ke tengah masyarakat tentang sejarah. Gagal memperjuangkan untuk mengganti dasar negara, mereka mencoba merusak sejarah negara dan ingatan kolektif masyarakat nusantara.
Tentu mudah saja kita menerka apa sebenarnya tujuan proyek film ini. Mereka ingin membongkar ingatan dan emosi masyarakat tentang sejarah Indonesia. Mereka ingin mencuri legalitas sejarah bahwa sejatinya jejak khilafah sudah pernah ada di Nusantara jauh sejak Indonesia ini merdeka.
Proyek film dokumenter pun dilakukan. Sebuah proyek yang katanya mampu membuka kecerdasan sejarah tentang masa lalu khilafah di nusantara. Tentu perlu kajian dan data ilmiah untuk meneselurui jejak itu. Namun, bukan kajian ilmiah, tetapi justru eks HTI kembali terjebak pada kajian ilusi.
Karena ilusi tentu saja Pakar Sejarah seperti Peter Carey yang dicatut dalam film ini harus segera melakukan klarifikasi. Carey bukan sekedar mempertimbangkan alasan politik di Indonesia tentang pelarangan organisasi ini, tetapi dia juga menjaga kredibilitasnya sebagai pakar sejarah dengan data dan fakta yang ilmiah. Tentu Carey tidak mau terbawa dalam proyek yang ilusi bukan ilmiah.
Mencari secara ilmiah jejak khilafah tentu teramat sulit dibuktikan. Namun, sekedar jejak khilafah mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menanamkan ilusi tentang keberadaan khilafah sejak lama di Nusantara melalui kontak diplomatik antara pemerintahan Timur Tengah dengan kerajaan Islam di Nusantara.
Karena hanya sebatas ilusi bukan kajian ilmiah, maka emosi sejarah lebih penting dari pada nalar sejarah. Pemilihan momentum 1 Muharram sekaligus Tahun Baru Islam adalah bagian dari target emosi sejarah.
Karena sebatas ilusi bukan ilmiah, maka tidak penting fakta dari pakar untuk mengonfirmasi kebenarannya, terpenting adalah mencuplik kata-kata pakar yang bisa diframe untuk kepentingan proyek ilusi tersebut. Kata-kata itu harus mereka arahkan pada dimensi ilusi seolah memang ada jejak khilafah sejak dulu di nusantara.
Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud jejak dalam film ini adalah jejak hubungan diplomatik antara khilafah Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah dengan kesultanan-kesultanan di Nusantara. Mereka ingin menggambarkan bahwa sejak dahulu hubungan itu ada dengan kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara.
Namun, apa yang tidak mereka temukan dalil ilmiahnya bahwa ketundukan dan pengakuan kerajaan Islam nusantara terhadap eksistensi khilafah yang jauh di sana. Jika pun ada jejak hubungan diplomatik, tetapi bukan hubungan sub-ordinatif. Kerajaan dan kesultanan di Nusantara bukan bagian dari khilafah yang semasa di Timur Tengah. Kerajaan di Nusantara dibentuk sebagai bagian dari sejarah yang ada dan bukan dibentuk dan ditaklukkan oleh khilafah.
Jika dalam doktrin khilafah HTI, Khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam secara menyeluruh dan diakui (baiat) oleh seluruh umat Islam, maka apakah kerajaan dan kesultanan di nusantara juga mengakui bagian dari khilafah pada masa itu. Kerajaan Islam di Nusantara berdiri secara independen yang tidak terikat. Raja Islam di Nusantara ada yang menggelari sebagai sultan bahkan menggelari khalifah pada dirinya di lingkup kawasan kekuasannya. Bukan sebagai bagian dari khilafah secara global.
Para penyebar Islam di Nusantara dengan cara kultural juga bukan bagian dari proyek masif yang terkoordinir di Nusantara untuk mengislamkan Nusantara. Apalagi jika harus mengatakan itu proyek khilafah untuk mengislamkan nusantara. Pernyataan itu akan menjadi sangat ilusif.
Karena itulah, proyek dokumenter mencari jejak khilafah di nusantara sejatinya tengah berjuang mencari fakta-fakta jejak hubungan diplomatik dinasti khilafah di Timur Tengah dengan kesultanan dan kerjaan di Nusantara. Itu pun teramat sulit jika tidak segera memborbardir dengan data-data ilusi dan penuh emosi.
Maka sejatinya, film jejak Khilafah di Nusantara ini bagian dari pedoman internal mereka untuk selalu menanamkan doktrin ilusi khilafah kepada pengikutnya. Tidak lebih dari itu. Jauh jika menyandingkan film dokumenter ini sebagai bagian dari kerja ilmiah yang disejajarkan dengan riset dan buku tentang islamisasi di Nusantara.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah