Bogor – Di tengah derasnya arus informasi digital dan derasnya pengaruh media sosial, potensi penyebaran paham radikal semakin sulit dibendung, termasuk di kalangan pelajar dan mahasiswa. Menyikapi hal ini, Dr. H. Najamudin, M.Pd.I — dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) dan Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) — menegaskan perlunya pendekatan pendidikan Qur’ani sebagai benteng utama melawan ekstremisme.
“Radikalisme bukan sekadar persoalan ideologi agama. Ia tumbuh dari krisis pemahaman, kehilangan arah, dan luka sosial yang tidak ditangani,” tulis Najamudin dalam refleksi ilmiahnya baru-baru ini dikutip dari laman kompasiana.com.
Menurutnya, banyak generasi muda yang terjebak dalam paham radikal bukan karena kebencian semata, tetapi karena merasa terasing dan haus akan makna hidup. “Mereka ingin dimengerti, ingin dianggap penting. Di situlah radikalisme masuk,” jelasnya.
Najamudin menggarisbawahi bahwa solusi yang berkelanjutan tidak terletak pada pendekatan represif, tetapi pada pendidikan — khususnya pendidikan agama yang menyentuh aspek akal, hati, dan perilaku. Ia menyebut Al-Qur’an sebagai sumber ajaran yang bukan hanya menuntun dalam ibadah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
“Islam mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Itu terlihat jelas dalam QS Al-Baqarah: 256 dan QS Al-Anbiya: 107,” katanya.
“Inilah esensi budaya damai yang seharusnya menjadi jiwa dari pendidikan agama.”
Namun, ia mengingatkan bahwa pendidikan agama yang hanya bersifat kognitif dan menekankan hafalan, tanpa membentuk karakter, justru bisa melahirkan generasi yang keras dalam kata, tetapi kosong dalam jiwa.
“Al-Qur’an tidak cukup hanya dibaca — ia harus dihidupkan dalam sikap dan tindakan. Pendidikan Qur’ani harus melahirkan generasi yang bijaksana, damai, dan empatik,” tegasnya.
Di era digital saat ini, Najamudin juga mengingatkan bahaya laten media sosial yang bisa menjadi pintu masuk paham radikal. Ia mendorong agar platform digital justru digunakan sebagai media dakwah yang positif — menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, meneladani akhlak Nabi, dan membangun narasi-narasi optimisme.
“Tugas melawan radikalisme bukan hanya milik guru atau negara. Ini tanggung jawab kolektif — orang tua, pendidik, ulama, hingga para pengambil kebijakan,” ucapnya.
Sebagai penutup, ia mengajak semua elemen bangsa untuk menumbuhkan empati, membuka ruang dialog yang sehat, dan membiasakan berpikir kritis.
“Jadikan perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman,” tandasnya.