selamat natal
selamat natal

Perbedaan Ulama tentang Ucapan Selamat Natal, Tak Usah Ribut Cukup Pilih Salah Satunya

Kalau ada dua pendapat ulama, yang satu memperbolehkan sementara satunya lagi tidak, hal itu tidak perlu bahkan tidak layak untuk diperdebatkan, apalagi meruncing sampai menyebabkan ketegangan. Fikih adalah cabang ilmu yang sesak dengan perbedaan.

Oleh sebab itu, umat Islam semestinya tidak terkejut apalagi panik menyikapi perbedaan. Empat ulama madhab fikih termasyhur sering terlibat perbedaan pendapat diantara mereka, namun begitu tetap dalam keakraban dan tidak bermusuhan. Padahal keempat imam madhab memiliki hubungan sebagai guru dan murid.

Pada penghujung bulan Desember, tepatnya pada tanggal 25 di bulan itu, telah terbiasa memantik perdebatan seputar ucapan selamat natal. Natal yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember seringkali menjadi perdebatan serius. Perdebatan itu tentang hukum mengucapkan selamat Natal.

Sebagaimana telah maklum, tanggal 25 Desember diperingati umat Kristiani sebagai Hari Natal yaitu lahirnya Yesus Kristus, atau, dalam Islam, Nabi Isa as. Polemik yang terjadi tak henti sepanjang tahun adalah hukum mengucapkan selamat Natal. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada pula yang tidak.

Argumen Ulama yang Melarang Ucapan Selamat Natal

Ada dua hal yang menjadi alasan para ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal.

Pertama, mengucapkan selamat Natal berarti membenarkan keyakinan umat Kristiani yang menganggap Nabi Isa as. sebagai Tuhan dan membenarkan kelahirannya tanggal 25 Desember.

Dalilnya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (QS. al Furqa [25]: 72).

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud “Persaksian palsu ” dalam ayat di atas adalah hari-hari raya kaum musyrik. Pendapat ini diikuti oleh beberapa ulama dari kalangan tabi’in, seperti, Abu Al ‘Aliyah, Thawus dan Ibnu Sirin.

Kedua, mengucapkan selamat Natal dianggap perbuatan tasyabbuh  (menyerupai) umat Kristiani. Hal ini dilarang oleh Nabi Muhammad.

“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).

Argumen Ulama yang Membolehkan Ucapan Selamat Natal

Para ulama yang membolehkan mengucapkan selamat Natal berargumen, perbuatan tersebut sebagai bentuk perkataan dan dan perbuatan baik kepada sesama manusia.

Argumen ini didasarkan pada ayat al Qur’an: “Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia”. (QS. al Baqarah [2]: 83).

Dalil al Qur’an yang lain, adanya kenyataan Nabi Isa as. mengucapkan selamat atas kelahirannya.

” Dan dalam (keselamatan dan kesejahteraan) semoga dilimpahkan kepadaku (Nabi Isa as.), pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. (QS. Maryam [19]: 33).

Berangkat dari dua ayat di atas, sebagian ulama membolehkan mengucapkan selamat Natal, dengan catatan, tidak meyakini Nabi Isa as. sebagai Tuhan, hanya salah satu Nabi utusan Tuhan.

Diantara para ulama tersebut adalah Habib Umat bin Hafidh dan ulama-ulama yang tergabung dalam Dewan Fatwa Mesir. Namun demikian, umat Islam tidak boleh bergabung atau ambil bagian dalam ritual ibadah perayaan Natal. Yang dibolehkan hanya mengucapkan selamat Natal.

Alhasil, dua pendapat tentang mengucapkan selamat Natal di atas tidak perlu diperdebatkan, apalagi sampai meruncing pada permusuhan. Umat Islam cukup memilih salah satunya. Adanya dua pendapat dalam fikih merupakan khazanah kekayaan intelektual yang harus dihargai, apalagi keduanya sama-sama didasarkan pada ayat al Qur’an.

Sikap terbaik adalah mencari yang lebih maslahat di antara kedua pendapat tersebut sesuai konteks lokal. Misalnya, bagi umat Islam yang tetangga kanan kirinya, teman dan rekan kerjanya kebanyakan umat Kristiani, pendapat kedua akan lebih bijak untuk menguatkan persahabatan dan persaudaraan sesama manusia.

Sementara bagi umat Islam yang hidup dilingkungan mayoritas muslim, serta tidak banyak berinteraksi dengan umat Kristiani, lebih pas memilih pendapat yang pertama. Masing-masing dengan catatan tetap harus saling menghargai.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …