Sertifikasi dimaksudkan untuk memberikan wawasan kerumahtanggaan, penguatan mental pasangan, pengetahuan kesehatan reproduksi dan lain lain. Tujuannya satu, agar pernikahan berjalan langgeng dan abadi.
Nikah adalah sarana yang memiliki legalitas syar’iy untuk melestarikan keturunan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalidha. Janji suci dua mempelai untuk membina kehidupan bersama, tidak untuk saling menyakiti, tapi untuk saling memuliakan. Begitu kata Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya Tafsir Jalalain.
Tak mudah untuk menjaga keutuhan janji ini. Tidak sedikit pula perahu rumah tangga yang kandas ditengah jalan. Banyak biduk rumah tangga terpakasa karam ditengah samudera kehidupannya. Banyak pasangan gagal menjaga mahligai rumah tangganya. Masalahnya sepele, egosentris yang belum mampu menemukan muaranya.
Angka perceraian makin meroket. Karenanya, tidak sembarang orang dianjurkan ucapkan janji suci ini. Maka, Negara merasa terpanggil untuk menyusun draf aturan guna menekan angka perceraian. Terbitlah aturan sertifikasi pra nikah yang akan diberlakukan serentak di tahun 2020.
Sertifikasi dimaksud untuk memberikan wawasan kerumahtanggaan, penguatan mental pasangan, pengetahuan kesehatan reproduksi dan lain lain. Tujuannya satu, agar pernikahan berjalan langgeng dan abadi. Lalu bagaimana fikih berbicara soal ini? Haruskah calon suami bermental kuat? Atau wajibkah calon suami paham betul tentang kesehatan reproduksinya dan berwawasan luas?
Sertifikasi Nikah dalam Pandangan Fikih
Nikah dalam pandangan fikih merupakan anjuran bukan keharusan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda. Barang siapa diantara kalian memiliki kemampuan untuk baah (jima’ (hubungan suami istri)), maka menikahlah, karena nikah lebih bisa mengendalikan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa tidak memiliki kemmpuan itu, maka wajib baginya berpuasa, karena puasa mampu menjadi pengekang baginya. Shahih Bukhari No 4780
Kenapa nikah bukan keharusan? Karena nikah—walaupun redaksi sabda Rasul adalah perintah—merupakan kebutuhan biologis manusia. Tidak diperintahpun manusia akan menikah guna menyalurkan kebutuhan biologisnya. Inilah qarinah (indikator) yang mengarahkan perintah menikah kepada sebatas anjuran belaka.
Syaikh Bujairami dan Ibn Hajar al-Haitami menafsir baah dengan uhbah (bekal fisik atau psikis pernikahan). Dimaksud dengan bekal fisik adalah kemampuan melakukan jima’ dan memberi nafkah istri. Sementara psikis, maksudnya adalah memiliki ketepatan dalam mengambil keputusan dan kehandalan menyelesaikan persoalan. Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, 10/24. Tuhfah al-Muhtaj, 29/166 senada dengan sabda Nabi
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ
Barang siapa di antara kalian memiliki kemampuan (penulis:wawasan yang panjang) maka menikahlah. Musnad Ahmad Ibn hanbal No 410
Dalam kamus Mu’jam al-Ghaniy thaul memiliki arti orang yang memiliki kelebihan, kecukupan, dan kemudahan dari pada lumrahnya. Artinya tiga arti thaul ini bisa dirangkai menjadi satu term pemahaman. Maka, hadits diatas bisa kita pahami, barang siapa dianatara kalian memiliki kelebihan dalam berfikir dan bertindak (berwawasan luas), maka orang semacam ini dirasa memiliki cukup untuk melangsungkan pernikahan.
Dengan modal kelebihan berfikir dan bertindak, ia akan mampu dengan mudah arungi dan selesaikan pernak-pernik kehidupan berkeluarga. Atau dengan kata lain, wawasan luas di sini bisa mencakup pengetahuan yang dibutuhkan oleh kedua pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Mencakup pula tips penguatan mental dan manajemen konflik dari suami dan istri dalam menghadapi keinginan yang berbeda yang menjadi tanah subur berbiaknya masalah rumah tangga.
Sudah seyogianya kedua pasangan memiliki sertifikat resmi dari Negara sebagai Ijazah dan bukti bahwa keduanya telah memiliki bekal pernikahan. Dengan begitu, keduanya akan merasa telah siap menghadapi problematika rumah tangga. Dan bisa diasumsikan kedua akan terselamatkan dari perceraian yang sangat dibenci Allah.
Nabi bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ.
Dari Ibn Umar ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda: “perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian. Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, 7/322
Kenapa kok sangat dibenci Allah? Karena dengan perceraian, menunjukkan betapa kerdilnya dan sempitnya hati dan pikiran suami. Dan berarti pula suami telah menghianati ‘janji suci’ sehidup semati yang pernah ia ikrarkan.
Maka kalau ada pertanyaan perlukah sertifikasi pra nikah dimiliki? Maka jawabannya, ya! Alasannya? Pertama, agar nikah langgeng. Kedua, mencegah merebaknya perceraian. Ketiga, untuk membuang jauh-jauh kesan bahwa menikah itu bukan untuk main main.
ABDUL WALID Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Dan Dewan Asatidz di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Meneng Ketapang Banyuwangi