Jakarta – Prancis dan Presiden Emmanuel Macron telah memposisikan sebagai lawan dari semua agama dengan ideologi sekulerisme ekstrem sebagai pengembangan berlebihan prinsip “laicite”. Dengan ideologi itu, Prancis merasa berhak melecehkan simbol-simbol semua agama.
“Agama dianggap sebagai musuh dari sekulerisme dan harus ditaklukkan. Perlu diketahui bahwa bukan hanya Islam yang menjadi korban pelecehan, tetapi juga Kristen dan Yahudi, bahkan lebih sering dan dengan bentuk yang lebih keji lagi,” kata Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf dikutip dari laman Republika.co.id, Senin (2/11/2020).
Gus Yahya, panggilan karibnya, juga menanggapi soal pembunuhan terhadap guru dan orang-orang yang beribadah di gereja. Menurut dia, perbuatan tersebut jelas biadab dan luar biasa bodoh.
“Si teroris tidak paham bahwa ini bukan persoalan Islam dihina oleh Kristen, melainkan bahwa Islam dan Kristen sama-sama menjadi korban pelecehan dari sekularisme ekstrem,” jelasnya.
Ia menjelaskan, kaum sekuler ekstrem yang mayoritas di Prancis telah begitu lama melecehkan agama-agama dengan berlindung di balik ‘kebebasan berekspresi’. Pelecehan terus-menerus semacam itu adalah bentuk persekusi mental terhadap minoritas dalam hal ini umat beragama, dan juga cermin supremasisme sekuler.
“Pada hakikatnya, kaum sekuler ekstrem di Prancis telah bertingkah laku sama angkuhnya dengan kelompok-kelompok radikal agama di belahan dunia mana pun,” tutur dia.
Gus Yahya menilai bahwa kebebasan berekspresi harus dilindungi hukum, tetapi pada saat yang sama masyarakat harus mengembangkan budaya saling menghormati di antara berbagai kelompok yang berbeda agama dan keyakinan.
“Demi masa depan peradaban, dunia harus memulai dialog global menuju konsensus tentang “nilai-nilai keadaban bersama” (shared civilisational values) agar pihak-pihak yang berbeda identitas, agama, keyakinan, dan kepentingan, dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis,” pungkasnya.