banjir

Teologi Lingkungan dalam Islam: Membaca Bencana Sumatera sebagai Peringatan dan Pelajaran

Gelombang bencana yang melanda Sumatera dalam beberapa waktu terakhir—banjir bandang di Padang, longsor di Sibolga, hingga banjir yang melanda sebagian  Aceh—membuka kembali percakapan yang selalu kita tunda: hubungan manusia dengan alam. Setiap kali bencana terjadi, sebagian masyarakat spontan menyandarkannya pada takdir.

Memang, dalam iman kita, segala sesuatu berada dalam pengetahuan dan kehendak Allah. Namun, menjadikan takdir sebagai satu-satunya penjelasan justru menutup pintu ikhtiar dan melemahkan tanggung jawab manusia sebagai makhluk berakal.

Islam tidak pernah memerintahkan kita untuk pasrah secara buta. Teologi Islam memadukan iman pada takdir dengan kewajiban moral mengelola bumi dengan benar. Karena itu, bencana bukan sekadar “musibah yang datang begitu saja,” tetapi juga cermin atas ulah manusia. Al-Qur’an menyampaikan dengan sangat jernih: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini seolah diturunkan untuk zaman kita, di mana hubungan manusia dan alam semakin timpang.

Kerusakan hutan Sumatera adalah contoh nyata. Pembalakan liar berlangsung bertahun-tahun, sungai-sungai kehilangan daerah resapan, dan gunung-gunung dipangkas tanpa jeda. Ketika hujan datang, tanah sudah tak lagi punya kekuatan menahan air. Yang mengalir bukan hanya air, tetapi juga akibat dari kelalaian kita.

Dalam perspektif teologi Islam, inilah titik pertemuan antara hukum alam (sunnatullah) dan moralitas manusia. Sunnatullah bekerja dengan konsisten: hutan yang rusak melahirkan banjir dan longsor. Tugas manusia adalah menjaga keseimbangan itu.

Islam meletakkan hubungan manusia dan alam dalam kerangka amanah dan khilafah. Amanah berarti manusia dititipi bumi, bukan memilikinya. Khilafah berarti manusia bertanggung jawab mengelola dan melindungi, bukan mengeksploitasi. Karena itu, tindakan merusak lingkungan bukan sekadar kesalahan ekologis, tetapi juga pelanggaran teologis.

Larangan merusak ini ditegaskan dalam berbagai ayat. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).

Kerusakan di sini mencakup pembalakan liar, penjarahan sumber daya, hingga tindakan kecil yang merusak keseimbangan alam. Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan: “Siapa saja yang menebang pohon bidara (yang bermanfaat bagi manusia) tanpa alasan yang benar, Allah akan menjungkirkan kepalanya ke neraka.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang tindakan merusak vegetasi yang memberi manfaat ekologis.

Pembalakan liar—baik dilakukan korporasi maupun individu—jelas bertentangan dengan nilai ini. Pohon bukan sekadar batang kayu bernilai ekonomi. Dalam pandangan Islam, pohon adalah makhluk Allah yang menjalankan fungsi teologis: memberi kehidupan, menstabilkan tanah, menyediakan oksigen, dan menjadi pelindung bagi makhluk lain. Ketika pohon ditebang tanpa aturan, peran teologis itu dihancurkan. Bencana pun menjadi konsekuensi logis dari pelanggaran amanah manusia.

Karena itu, membaca bencana Sumatera hanya sebagai takdir membuat kita kehilangan pelajaran moralnya. Takdir tidak meniadakan sebab-akibat; justru sebab-akibat adalah bagian dari takdir Allah. Kita tidak bisa menebang hutan, lalu berharap gunung tetap tegak dan sungai tenang. Menyalahkan hujan tanpa menyinggung kerakusan manusia hanya akan melahirkan siklus bencana yang berulang.

Teologi lingkungan dalam Islam menuntut kesadaran bahwa menjaga bumi adalah ibadah. Menanam pohon adalah amal jariyah. Mengurangi kerusakan adalah bagian dari keimanan. Bahkan, dalam hadis riwayat Ahmad, Nabi menyatakan: “Jika kiamat sudah dekat dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon, maka tanamlah.” Spirit hadis ini mengajarkan bahwa memperbaiki bumi adalah tugas yang tak pernah berhenti—bahkan di ambang kiamat.

Bencana Sumatera bukan sekadar kabar duka. Ia adalah panggilan untuk kembali membaca ayat-ayat Tuhan, baik yang tertulis maupun yang terbentang di alam. Selama kita masih memandang bumi sebagai objek kepemilikan, bukan titipan, kerusakan akan terus berulang. Saatnya menggeser kesadaran: dari membebankan semua pada takdir, menuju teologi lingkungan yang menuntut kedewasaan moral.

Di titik ini, kita belajar bahwa menjaga bumi bukan isu aktivisme, tetapi bagian dari akhlak. Dan bencana, betapapun pedihnya, selalu membawa pesan spiritual: Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Dr Emrus Sihombing MSi

Puji Langkah BGN Respon Kritik, Pengamat: Perkuat Implementasi di Lapangan

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai menunjukkan sikap terbuka dalam menjalankan Program Makan Bergizi …

Ahmad Muzani di Makkah

Di Makkah, Ketua MPR Ahmad Muzani Paparkan Pancasila sebagai Titik Temu Keberagaman Indonesia

Makkah — Ketua MPR RI Ahmad Muzani menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran Platform Elektronik …