Labuan Bajo – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., menegaskan bahwa aksi teror tidak lahir secara instan, melainkan melalui proses panjang yang berawal dari pola pikir sempit. Hal itu ia sampaikan dalam Dialog Kebangsaan Bersama Pemuda di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (27/8/2025).
“Tidak ada yang tiba-tiba langsung menjadi teroris. Semua manusia lahir dengan fitrah suci, tapi bisa berubah melalui beberapa level: mulai dari pikiran tertutup, intoleran, ekstrem, radikal, hingga akhirnya menjadi teroris,” jelas Prof. Irfan.
Ia menggambarkan proses itu dengan perbandingan sederhana: dari seribu anak berpikiran sempit, hanya sebagian kecil yang naik level menjadi intoleran, ekstremis, hingga akhirnya satu orang yang melakukan aksi teror.
“Jumlahnya memang sedikit, tapi dentumannya berbahaya,” tegasnya.
Prof. Irfan menilai NTT termasuk wilayah dengan tingkat toleransi yang tinggi. Dua kali survei Setara Institute menempatkan provinsi ini dalam 10 besar daerah paling toleran di Indonesia. “Labuan Bajo adalah kota toleran. Itulah sebabnya banyak orang datang. Kita sedang berada di potongan surga dengan toleransi yang indah,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pergeseran pola terorisme. Jika pada Bom Bali pelaku semuanya laki-laki, maka sejak 2018 perempuan dan anak mulai dilibatkan, seperti dalam kasus bom bunuh diri di Surabaya, Sibolga, dan Gereja Katedral Makassar. “Perempuan dan anak jadi target propaganda karena bisa menyeret sekaligus seluruh keluarga,” terangnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa radikalisme bisa menyasar siapa saja. “Ada ASN, aparat, bahkan pengurus organisasi keagamaan yang ikut terpapar. Mungkin mereka tidak langsung melakukan aksi, tapi bisa terlibat dalam pendanaan atau penyebaran ideologi,” jelasnya.
Prof. Irfan menegaskan, capaian Indonesia dalam menjaga zero terrorist attack jangan sampai membuat masyarakat lengah. “Mereka bisa mundur satu langkah lalu maju tiga langkah. Karena itu kita harus tetap waspada,” katanya.
Menurutnya, tantangan ke depan bukan hanya menjaga keamanan, tapi juga menghadapi kelompok yang masih ingin mengganti NKRI dengan ideologi khilafah. “NKRI adalah harga mati. Kita harus pahami akar masalah radikalisme agar bisa mencegahnya sejak dini,” tegasnya.
Sebagai strategi, BNPT menekankan tiga langkah utama: kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Pada aspek kontra radikalisasi, terdapat tiga pendekatan: kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi.
“Karena itu, saya mengajak mahasiswa dan pemuda untuk terus memperbanyak narasi damai dan toleransi. Jangan sampai ruang publik kita dipenuhi narasi kebencian dan perpecahan,” pungkas Prof. Irfan.