palestina-israel

Win-Win Solution Perlu Dikedepankan dalam Isu Israel-Palestina

Sejak tahun 1980-an, berbagai aksi terorisme yang terjadi di belahan dunia sering kali berkaitan dengan konflik Israel-Palestina. Beberapa contohnya adalah pembajakan pesawat Pan Am di Karachi, Pakistan, pada tahun 1986, serta pengeboman sebuah klub malam di Berlin di tahun yang sama. Aksi-aksi ini diduga dilatarbelakangi oleh perjuangan membela rakyat Palestina. Selain itu, muncul pula berbagai gerakan radikal di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir, dan kelompok lainnya di berbagai negara Muslim yang menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai salah satu misi utamanya.

Keberadaan kelompok seperti Hamas, Hizbullah, dan belakangan Houthi di Yaman juga tidak bisa dilepaskan dari upaya pembebasan Palestina dari pendudukan Israel, yang mereka anggap ilegal. Namun sayangnya, pendekatan yang digunakan oleh kelompok-kelompok ini lebih banyak mengandalkan kekerasan. Inilah yang membuat isu Palestina selalu menjadi sorotan, terutama saat terjadi serangan seperti yang dilakukan Hamas ke wilayah Israel yang menimbulkan ribuan korban luka dan sandera. Meskipun tindakan Hamas sering dikritik, mereka juga berdalih bahwa serangan itu adalah balasan atas kekerasan yang dilakukan tentara Israel di Gaza dan Yerusalem beberapa waktu sebelumnya.

Setelah perang 13 hari antara Israel dan Iran, dan tercapainya kesepakatan gencatan senjata, pembicaraan soal Palestina mulai mereda di media internasional. Padahal, situasi di Gaza masih belum stabil, terutama karena Israel belum memberikan izin bagi para pekerja kemanusiaan untuk masuk ke wilayah tersebut. Di sisi lain, ada satu perkembangan positif, yaitu mulai tumbuhnya dorongan dari masyarakat internasional untuk segera mengakui kemerdekaan Palestina sebagai upaya menyelesaikan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.

Dalam sebuah pertemuan yang digelar di PBB, sejumlah negara seperti Prancis, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania berhasil menggalang dukungan dari lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia. Mereka menandatangani Deklarasi New York, yang berisi seruan penghentian perang di Gaza dan peta jalan untuk membentuk negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, yang bisa hidup berdampingan dengan Israel. Deklarasi ini juga menuntut Hamas agar menghentikan kekuasaannya di Gaza, menyerahkan senjata, membebaskan para sandera, dan menyerahkan kendali pemerintahan kepada Otoritas Palestina. Selain itu, deklarasi ini menegaskan bahwa Gaza adalah bagian dari wilayah Palestina yang harus disatukan kembali dengan Tepi Barat. Deklarasi juga menyerukan penghentian pembangunan permukiman ilegal oleh Israel, pencabutan blokade, dan penghapusan tindakan-tindakan yang menindas rakyat Palestina.

Meskipun deklarasi ini sangat rasional dan menjadi harapan baru bagi perdamaian, pelaksanaannya di lapangan tampaknya tidak akan mudah. Hambatan utamanya adalah sikap keras dua pihak yang bertentangan. Hamas menolak mengakui keberadaan negara Israel dan menuduh Israel mencaplok wilayah Palestina yang pernah diakui sebagai negara oleh Inggris. Di sisi lain, Israel menolak keberadaan Hamas yang dianggap sebagai ancaman besar bagi keamanan mereka. Karena itu, selama tidak ada titik temu, konflik ini akan terus berulang.

Situasi seperti ini sebenarnya bukan tanpa contoh penyelesaian. Konflik panjang antara Irlandia dan Inggris, serta perang saudara antara Sudan dan Sudan Selatan, akhirnya bisa diselesaikan melalui dialog dan sikap saling mengalah. Dalam kedua kasus itu, masing-masing pihak bersedia duduk bersama dan mencapai kompromi demi masa depan yang lebih baik.

Hal serupa seharusnya juga bisa diterapkan dalam konflik Israel–Palestina. Win-win solution harus dikedepankan, karena jika masing-masing pihak terus mempertahankan sikap kerasnya, maka perdamaian hanya akan menjadi angan-angan. Terlebih, Israel kini telah menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara, termasuk negara-negara mayoritas Muslim seperti Mesir, Yordania, Maroko, Turki, Uni Emirat Arab, Sudan, bahkan tengah menjajaki normalisasi hubungan dengan Suriah dan Arab Saudi. Sementara itu, Palestina baru diakui oleh sebagian negara, kebanyakan dari dunia Muslim, dan masih berstatus sebagai pengamat di PBB.

Jika Palestina bersedia menerima Deklarasi New York dan mengupayakan pendekatan diplomatik, maka peluang penyelesaian konflik akan jauh lebih nyata. Namun, jika deklarasi ini kembali ditolak—terutama oleh Hamas dan kelompok perjuangan lainnya—maka nasibnya mungkin akan sama seperti berbagai kesepakatan sebelumnya, seperti Kesepakatan Barcelona dan perjanjian-perjanjian damai lain yang gagal diwujudkan.

Konflik Israel–Palestina adalah masalah kompleks dan penuh emosi. Namun, tanpa sikap saling memahami dan kemauan untuk mencari solusi bersama, konflik ini akan terus berulang. Saatnya seluruh pihak, baik Israel, Palestina, maupun komunitas internasional, mendorong jalan tengah yang realistis dan damai — bukan lagi jalan kekerasan.

 

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Suaib Tahir, Lc, MA

Anggota Mustasyar Diniy Musim Haji Tahun 2025 Staf Ahli Bidang Pencegahan BNPT Republik Indonesia

Check Also

sudan

Anatomi Konflik Sudan dan Bahaya Laten Politik Identitas

Sejak April 2023, Sudan telah terjerumus dalam perang saudara brutal antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) …

AI

Agama di Era AI: Masih Relevankah sebagai Penuntun Hidup?

Di era digital seperti sekarang, informasi menyebar begitu cepat dan tidak selalu jelas sumber maupun …