mudik di tengah pandemi
mudik di tengah pandemi

Mudik di Tengah Pademi Bukan Perilaku yang Islami

Sesungguhnya mudik di tengah pendemi bukan silaturrahmi, tetapi justru sikap yang tidak Islami. Kenapa?


Mudik menjelang hari raya Idul Fitri pada kondisi normal tidak hanya bermakna pulang kampung semata, tetapi ada dimensi relijius yang terkandung. Kembali ke kampung halaman adalah bagian menyambung silaturrahmi.

Tidak perlu berpanjang lebar tentang manfaat dan keuatamaan silaturrahmi dalam Islam. Allah bahkan menjanjikan pahala dan keberkahan dekat dengan surga kepada mereka yang senantiasa menyambung silaturrahmi.

Dalam suatu hadist ketika Nabi ditanya oleh seorang badui tentang amalan yang mendekatkan kepada surga Nabi menjawab sebagai berikut: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Banyak manfaat sebagai daya tarik dari silaturrahmi. Salah satunya adalah Janji Allah yang tertuang dalam sabda yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang suka dilapangkan rejekinya  dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung tali silaturahmi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Tapi apakah mudik yang mengandung silaturrahmi yang penuh keutamaan itu tetap berlaku di tengah pandemi? Pemerintah telah melarang mudik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 23 April 2020. Siapa pun yang melanggar peraturan tersebut akan dikenakan denda Rp 100 juta hingga kurungan penjara selama satu tahun.

Tetapi bukan persoalan sanksi yang mau kita bahas. Sesungguhnya mudik di tengah pendemi bukan silaturrahmi, tetapi justru sikap yang tidak Islami. Kenapa? Pertama, tentu saja mudik di tengah pandemi sudah melanggar aturan pemerintah. Ketidakpatuhan terhadap aturan pemerintah tentang kemashlahatan ini adalah bagian dari perilaku tidak islami.

Kedua, mudik di tengah wabah sesungguhnya juga melanggar perintah Rasulullah ketika ada wabah di suatu daerah. Sebagaimana  sabda Rasulullah: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari (5739) dan Muslim (2219).

Dengan meninggalkan daerah berada dalam zona merah atau kuning ke zona lainnya dengan aktifitas mudik sesungguhnya akan memberikan mudharat besar baik bagi diri sendiri maupun kepada orang lain. Mudik di tengah pandemi mengandung lebih besar mudharat dari pada mashlahahnya.

Dalam kasus seperti ini berlaku kaidah fikih yang menjelaskan mencegah mudharat didahulukan dari pada mendatangkan mashlalah. Mudik untuk silaturrahmi adalah bagian dari mashlahah, tetapi jika pada saat yang sama mendatangkan mudharat, maka mencegah mudharat lebih diprioritaskan untuk dijalankan.

Kemashlahatan yang diraih dalam mudik dan silaturrahmi adalah kemashlahatan individual. Sementara larangan mudik di tengah covid-19 adalah mempertimbangankan kemashlahatan yang umum. Karena itulah, larangan mudik adalah menjangkau kemashalatan yang lebih besar.

Karena itulah, mengharapkan keutamaan silaturrami melalui mudik di tengah pandemi bisa dijangkau sementara dengan silaturrahmi digital yang ada. Siapapun akan sedih ketika tidak pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga. Namun, siapapun akan lebih sedih jika kita malah membawa musibah wabah di kampung.

Bagikan Artikel ini:

About Eva Novavita

Check Also

singgasana sulaiman

Cerita Nabi Sulaiman untuk Anak (3) : Kisah Raja Sulaiman dan Ratu Balqis

Setelah Nabi Daud wafat, kini Nabi Sulaiman meneruskan tahta kerajaan dan memimpin Bani Israil. Seperti …

singgasana sulaiman

Cerita Nabi Sulaiman untuk Anak (2) : Nabi Sulaiman dan Perempuan Korban Pemerkosaan

Sebelumnya sudah diceritakan tentang kecerdasan Nabi Sulaiman dalam memecahkan masalah. Kisah kehebatan Nabi sulaiman tak …