Perlu ditegaskan di awal, penulis tidak bermaksud merestui dan setuju terhadap kicauan Marcon, lebih lagi Charlie Hebdo dengan ulahnya memuat kartun Nabi. Sebagaimana dikatakan oleh fikih, “Siapa yang memiliki i’tiqad (keyakinan) bolehnya menghina Nabi hukumnya kafir, dan pancung leher hukumannya”. Arah tulisan ini bukan kesana.
Di sini hanya mencoba mengambil sisi lain dari pernyataan Marcon yang menggambarkan Islam sebagai “agama dalam krisis” sebagai materi bertanya apakah hal itu memang bertujuan murni hendak menghina Islam sebagai agama ataukah hanya sebagai respon atas sebagian akhlak umat Islam yang tidak sesuai dengan syariat agama?
Sama juga dengan kartun Nabi Muhammad yang nampang di majalah Charlie Hebdo, padahal pembuatnya dipastikan tidak pernah tahu wajah Nabi, bagaimana ia bisa menggambar Nabi? Atau hanya penggambaran akhlak sebagian umat Islam yang tidak sesuai dengan akhlak Nabi?
Menarik untuk dihayati apa yang disampaikan oleh Habib Ali Al Jufri. Dilansir oleh Bincangsyariah.com, beliau mengatakan, “Duhai Rasulullah, orang bodoh yang menggambarmu, sejatinya bukan menggambarmu, melainkan menggambar apa yang mereka lihat pada diri kami, yang bertentangan dengan ajaran yang engkau bawa”.
Mereka sejatinya adalah orang-orang bodoh yang menggambarkan sosok Nabi dengan mengambil background akhlak umat Islam saat ini. Oleh sebab itu, ini menjadi teguran kepada umat Islam untuk melakukan introspeksi diri. Tugas kita saat ini adalah mencerminkan citra Islam sesuai akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah. Ini, pemecut semangat untuk menterjemah misi terutusnya Nabi untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Bukankah separatisme, radikalisme, terorisme, ekstremisme dan apapun namanya sangat jauh dari akhlak baginda Nabi? Dan, Prancis sedang dilanda badai ekstrimisme agama yang berbentuk serangan yang dilakukan oleh Muslim pendatang. Sehingga puncak dari kegerahan aksi-aksi tersebut adalah pernyataan Marcon yang mensinyalir adanya krisis ideologis yang menimpa sebagian umat Islam.
Sebab terbukti ada kalangan umat Islam di Prancis, seperti Dewan Peribadatan Muslim Prancis, yang mengecam pembunuhan guru sejarah walaupun mereka juga tidak senang dan tidak setuju dengan penghinaan kepada Nabi berupa karikatur itu.
Lantas, apakah kemarahan dan ketidaksetujuan kita kepada kicauan Marcon dan Charlie Hebdo harus menuruti nafsu dan emosi ? Padahal Nabi berkali-kali memberi maaf kepada penghinanya, bahkan kepada orang-orang yang mengancam nyawanya.
Kalau begitu, apakah tidak lebih baik kaum Muslim mencoba mengetuk nuraninya untuk semaksimal mungkin meniru akhlak Nabi, bahwa Nabi sekalipun dihina begitu pedas tetap menampilkan akhlak terpuji sehingga berbondong-bondong manusia memeluk Islam. Jadi, mestinya penghinaan kepada Islam dan Nabi dihadapi dengan cara-cara yang sesuai tuntunan agama Islam, yakni dengan hikmah dan mauidzah Hasanah.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah