Terdapat satu kelompok radikal yang sangat diperhatikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Kelompok ini memiliki sebutan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya Muhammad bin Abdul Wahab yang telah mengadopsi pendekatan secara dangkal dan dengan suara bulat mereka telah menentang ucapan para ulama Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah dan pendapat para fuqoha dan imam-imam madzahib al-Arba’ah. Mereka mengingkari imam madzhab dan kitab-kitab fiqihnya, dan mereka pun menyangkal dari bertaqlid (imitasi) dan mengikuti salah satu mazhab di antara empat madzhab atau imitasi para ulama ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Seperti yang disebutkan Syekh Nawawi Al-Jawi dalam bukunya bahwa, “Kelompok ini telah menyerukan tidak adanya taqlid dan taqoyyud terhadap para imam dari empat madzhab, di mana pemimpin mereka berkata: “Kami adalah pria dan mereka adalah pria dan Mereka mengangkat slogan mereka “Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah” sebagai sumber dasar Islam secara langsung (Al-Jawi, 1998 : 13).
KH. Hasyim Asy’ari berkata di dalam kitabnya bahwa mereka adalah satu kelompok yang telah tenggelam dalam lautan fitnah karena mereka telah mengambil cara yang bid’ah tanpa mengambil al-Sunnah. Mereka telah memutar balikkan kebenaran, dan mengingkari kebenaran, dan mengakui kemunkaran. Mereka mengajak untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah namun mereka sendiri tidak memiliki pemahaman yang cukup tentangnya, sedang mereka membuat kelompok yang mengajak kembali kepadanya, maka kecelakaanlah bagi mereka yang berlagak mampu dalam memahami al-Quran dan alSunnah, dan mereka pun tak menghiraukan sabda Rasulullah SAW: “Perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu, sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah para pendusta dalam agama” (HR. Imam ahmad dan imam Hakim) (Asy’ari, 1418 H: 25).
Antisipasi KH. Hasyim asy’ari terhadap Kelompok Wahabi
Untuk mengantisipasi pemikiran kelompok ini KH. Hasyim asy’ari pun mengarang satu buku khusus tentang pentingnya bermadzhab sebagaimana di dalamnya beliau berpesan: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mengikuti madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya membawa resiko kerusakan yang fatal.
Umat Islam telah sepakat bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara benar. Dalam hal ini, para tabi’in mengikuti jejak para sahabat Nabi shallallaahu alaihi wasallam, lalu para pengikut tabi’in meneruskan langkah dengan mengikuti jejak para tabi’in. Demikianlah seterusnya, pada setiap generasi, para ulama pasti mengacu dan merujuk kepada orang-orang dari generasi sebelumnya. Akal yang sehat menunjukkan betapa baiknya pola pemahaman dan pengamalan syariat Islam yang seperti itu. Sebab syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan cara naql (mengambill dari generasi sebelumnya) dan istinbath (mengeluarkan dalil dari sumbernya, Al Quran dan al Hadits, melalui ijtihad untuk menetapkan hukum).
Oleh karena itu, KH. Hasyim Asy’ari kembali menegaskan akan pentingnya bermadzhab di dalam fiqh bahwasanya Naql tidaklah mungkin dilakukan dengan benar kecuali dengan cara setiap generasi mengambil langsung dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan.
Sedangkan untuk istinbath, disyaratkan harus mengetahui madzhab-madzhab ulama generasi terdahulu agar tidak menyimpang dari pendapat-pendapat mereka yang bisa berakibat menyalahi kesepakatan mereka (ijma’), karena mereka telah membangun agama ini dengan bersandar pada guru-guru mereka atau orang-orang terdahulunya. Semua pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang, misalnya di bidang shorof, nahwu, kedokteran, kesusastraan, pandai besi, perdagangan dan keahlian logam mulia, tidak mungkin begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali dengan terus menerus belajar kepada ahlinya. Di luar cara itu, sungguh sangat langka dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris tidak pernah terjadi, kendatipun secara akal boleh saja terjadi.
Jika pendapat-pendapat para ulama salaf telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan pedoman, maka pendapat-pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah diriwayatkan dengan sanad (mata-rantai) yang benar dan bisa dipercaya, atau dituliskan dalam kitab-kitab yang masyhur, dan telah diolah (dikomentari) dengan menjelaskan pendapat yang unggul dari pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari yang umum, membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian. Karena itu, apabila pendapat ulama tadi tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti di atas, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Maka dari itu beliau pun berpendapat bahwa tidak ada satu madzhab pun di zaman akhir ini yang memenuhi syarat dan sifat seperti di atas selain madzhab empat ini. Memang ada juga madzhab yang mendekati syarat dan sifat di atas, yaitu madzhab Imamiyah (Syi’ah) dan Zaydiyah (golongan Syi’ah). Namun keduanya adalah golongan ahlu bid’ah, sehingga keduanya tidak boleh dijadikan pegangan.
Sesungguhnya Mayoritas generasi salaf adalah penganut madzhab empat. Al Bukhari adalah penganut Madzhab Syafi’i. Beliau belajar dari al Humaidi, az Za’farani dan al Karabisi. Begitu pula dengan Ibnu Khuzaimah dan an Nasa’i. Imam al Junaid adalah penganut Madzhab Tsauri. Asy Syibli adalah penganut Madzhab Maliki. Al Muhasibi adalah penganut Madzhab Syafi‟i. Al Jariri adalah penganut Madzhab Hanafi. (Syaikh Abdul Qodir) al Jilani adalah penganut Madzhab Hambali. Dan (Abul Hasan) asy Syadzili adalah penganut Madzhab Maliki.
Sebab, berpegang kepada madzhab tertentu akan membuat seseorang lebih mudah menghimpun fakta, memahami masalah, mendalami persoalan dan mendapatkan apa yang dibutuhkan. Prinsip inilah yang dianut oleh generasi salafus salih dan masyayikh (kiai) di masa lalu.
Maka dari itu beliau pun menganjurkan kepada segenap kaum muslimin agar senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dengan takwa yang sebenar-benarnya. Jangan sampai mereka mati kecuali sebagai muslim (yang sejati). Hendaklah mereka memperbaiki hubungan di antara mereka, menyambung tali persaudaraan (bersilaturrahmi), berbuat baik kepada tetangga, karib kerabat dan kawan-kawan, mengetahui hakikat dosa-dosa besar, menyayangi orang-orang lemah dan orang-orang kecil.
Kita harus mencegah mereka dari permusuhan, saling membenci, memutuskan hubungan, saling mendengki, berpecah belah dan berbeda-beda dalam urusan agama. Kita harus mendorong mereka agar menjadi saudara, bekerja sama dalam kebajikan, memegang teguh agama Allah SWT, tidak bercerai-berai, dan mengikuti Al Kitab (Al-Qur‟an), as Sunnah (Hadis), dan jalan yang diikuti oleh ulama-ulama umat ini, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.
Mudah-mudahan Allah SWT berkenan meridhoi mereka semua. Mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan oleh ijma‟ (konsensus umat Islam) bahwasanya kita tidak boleh keluar dari madzhab mereka dan harus menolak pendapat yang dimunculkan oleh kelompok yang berseberangan dengan apa yang dianut oleh generasi salaf al-shaleh.
Pernyataan tegas Rasulullah SAW kepada orang yang menyendiri (keluar dari jamaah)
Sementara Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa orang yang menyendiri (keluar dari jamaah) akan menyendiri ke neraka. Beliau juga memerintahkan agar umatnya senantiasa bergabung bersama jamaah yang mengikuti jalan yang dilalui oleh generasi salafus shaleh. Karena Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Dan aku memerintahkan kepada kalian 5 hal yang Allah perintahkan kepadaku: mendengar, patuh, berjihad, berhijrah dan berjamaah. Karena sesungguhnya orang yang meninggalkan jama‟ah sejengkal saja maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya”(Asy‟ari : 15).
Umar bin Khaththab Ra. pernah berkata, “Teruslah berjamaah dan jangan sekali-kali berpecah-belah. Karena setan bersama satu orang. Dan jika bersama dua orang maka setan akan berada lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan kemewahan hidup di surga hendaklah ia konsisten bersama jamaah.
Dari uraian diatas setidaknya terdapat kesimpulan penting yang harus diperhatikan terkait pendapat K.H Hasyim Asy’ari tentang pentingnya bermazhab. Pertama, Ummat Islam telah sepakat didalam memahami Syariat Islam, hendaknya berpegang kepada ulama terdahulu (Salaf Tabiin). Mereka ini berpegang kepada syariat yang diajarkan oleh para sahabat Nabi SAW. dan Syariat Islam tidaklah dapat diketahui kecuali dengan dalil naqli dan istinbath (penggalian hukum).
Kedua, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “ikutilah golongan terbesar didalam Ummat ini”. Maka empat mazhab tersebut masuk kedalam kategori ini, karena empat mazhab tersebut memiliki banyak pengikut dan bersifat mayoritas. Ketiga, keadaan zaman yang sudah rusak dengan banyak munculnya kelompok-kelompok radikalisme dan yang mana sudah sulit ditemukan ulama yang benar, dan sudah terlalu banyak orang yang sudah tidak amanah.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah