keluarga islami
keluarga islami

Meninggalkan Keluarga untuk Dakwah, Bolehkah?

Semangat dakwah memang seharusnya lekat dalam setiap pribadi muslim. Misi dakwah Rasulullah harus selalu terus diupayakan untuk menyapa setiap jengkal bumi. Ini tugas mulia. Tak ada satu dalilpun yang bisa membantah. Berjuang untuk menegakkan kalimat Allah di bumi adalah tugas kita semua.

Tapi cara bagaimana dan seperti apa tugas mulia ini harus dilaksanakan, itu yang kadang salah diterjemahkan. Dari mana harus memulai, apa syarat yang harus dipenuhi, caranya bagaimana, dan seterusnya, terkadang diabaikan begitu saja.

Salah satu yang sampai saat ini masih gencar dilakukan oleh sebagian umat Islam adalah dakwah keliling, safari dakwah, dengan meninggalkan keluarga dalam rentang waktu yang lama. Untuk itu, perlu disampaikan yang sebenarnya, bagaimana agama Islam memandang fenomena ini?

Pertama, haruskah meninggalkan keluarga dalam masa yang lama dengan alasan dakwah?

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. al Tahrim: 6)

Jelas ayat ini memberi petunjuk tugas pertama dan utama dalam dakwah adalah keluarga. Muslim yang baik akan tercermin dari keadaan keluarganya. Bila keluarga tenang, tentram dan menjalankan ajaran Islam dengan baik, itulah cerminan suami yang baik. Maka jangan diharap mendapat predikat muslim yang baik bila keluarga tidak terbina dengan sempurna. Baik itu dari sisi pengamalan ajaran agama, nafkah lahir batin dan seterusnya.

Terutama dalam hal nafkah. Suami wajib memenuhinya dan cara memperolehnya harus dengan jalan halal. Ini kewajiban yang tak bisa ditawar. Maka pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau suami pergi dakwah sementara anak istri nelangsa? Lebih utama mana memenuhi nafkah keluarga dan berdakwah?

Nabi bersabda, “Sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya merupakan sedekah. Dan sesungguhnya suami diberi pahala untuk sesuap makanan yang diberikan kepada istrinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menjelaskan dua keutamaan yang diperoleh suami ketika memberi nafkah keluarganya, yaitu pahala telah menunaikan kewajiban memberi nafkah dan pahala sedekah dari nafkah itu meski memang kewajibannya. Dari sini saja bisa dinilai, betapa Islam sangat memperhatikan soal ini.

Bagaimana kalau istri dan anak-anak ikhlas menerima perjuangan sang ayah untuk dakwah meskipun harus hidup merana dan terlunta-lunta?

Mari kita simak pesan-pesan Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddinnya. Beliau menulis kisah di saat Ibnu Mubarak ada dalam situasi perang akan berkecamuk. Ibnu Mubarak berkata kepada teman-temannya, “Apakah kalian tahu amal apa yang lebih utama dari yang sedang kita lakukan saat ini”? Kawan-kawannya menggelengkan kepala. Beliau berkata, “Seorang suami yang menjaga dirinya dari meminta-minta, meski ia menanggung nafkah keluarganya. Ketika malam ia terjaga, kemudian memandang dan menyelimuti anak-anaknya yang sedang tertidur. Amal mereka lebih utama dari yang kita lakukan saat ini”.

Ini adalah penegasan bahwa mencari nafkah keluarga lebih utama dari jihad perang sekalipun. Untuk itu, perlu diperhatikan lebih serius cara dakwah dengan mengabaikan keluarga. Sebab menurut Imam Ghazali, mencari nafkah keluarga juga termasuk jiahd fi Sabilillah.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …