Tidak ada habisnya, ceramah kontroversial yang mempertengkan Islam dan budaya bertaburan. Belum selesai sesajen, kini muncul pernyataan wayang sebaiknya dimusnahkan. Potong ceramah ini menjadi viral walaupun sang Ustadz, Khalid Basalamah, sudah mengklarifikasinya. Dia tidak pernah mengeluarkan pernyataan mengharamkan wayang. Lalu, kenapa menyarankan memusnahkan?
Tentu ini sebuah pukulan telak bagi masyarakat Indonesia. Dulu kita rebutan batik dan keris dari negara tetangga karena ini adalah warisan budaya. Namun, Nampak aneh jika orang Indonesia justru tidak senang apalagi menyarankan memusnahkan warisan budayanya. Entah pendekatan agama yang seperti apa yang mengajarkan umatnya untuk memusnahkan tradisi dan budaya. Rasulullah saja berdakwah masih mengakomodir tradisi dan budaya Arab sebelumnya.
Wayang sebaiknya dimusnahkan? Kesenian wayang bukan hanya menjadi kebudayan nasional bangsa, tetapi juga memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Kesenian wayang ini menjadi salah satu instrumen penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Wayang menjadi salah satu pintu masuk penyebaran nilai Islam yang mengakar kuat di tengah masyarakat.
Islam datang ke peradaban masyarakat nusantar yang sudah memiliki budaya dan tradisi. Adat dan kebudayaan yang sudah mendarah daging karena merupakan warisan para leluhur terdahulu. Salah satunya tentu adalah kesenian wayang kulit yang menjadi kesenian rakyat. Wayang kulit purwa telah banyak menemukan bentuknya pada masa agama Hindu berjaya di Indonesia.
Penyebar Islam tidak memusnahkan tradisi dan budaya, tetapi merawatnya dengan memberikan nilai islami. Hasilnya, Islam tidak bertentangan dengan budaya dan bukan musuh masyarakat. Begitu pula, wayang kulit purwa berkembang pesat setelah terjadi akulturasi antara budaya lama dengan budaya baru yaitu ajaran Islam, sehingga wujud wayang kulit menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya.
Pola penyebaran ini sesuai dengan pola dakwah Rasulullah yang tidak memusnahkan budaya. Dengan masuknya Islam di Indonesia, budaya lama tidak serta merta dihancurkan. Namun, kebudayaan leluhur di Indonesia telah banyak mengalami penyesuaian dengan agama Islam yang sudah mengakar di tengah masyarakat.
Menyarankan untuk menjadikan Islam sebagai tradisi dan jangan menjadikan tradisi sebagai Islam sebuah logika yang tidak fatal. Menjadikan Islam sebagai tradisi adalah dengan menjadikan tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan Islam. Di situlah Islam akan menjadi tradisi yang mudah diterima masyarakat. Bukan Islam yang menentang dan memusnahkan tradisi.
Wayang di Tangan Walisongo
Perubahan wayang yang memasukkan nilai Islam telah dipelopori oleh para Walisongo, tepatnya Sunan Kalijaga yang berniat untuk memudahkan penerimaan agama Islam yang ada di Indonesia. Selain itu para Wali Songo juga menciptakan gamelan sebagai alat pendukung dalam pargelaran wayang kulit.
Merekapun mulai memainkan wayang dan juga gamelannya untuk membuat pagelaran semakin menarik. Para walisongo juga mengarang cerita yang bernafaska nilai-nilai keislaman yang terkenal dengan sebutan “Punokawan Pandawa” yang berarti empat tokoh jenaka pengiring kesatria pandawa lima yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Bukan hanya itu ternyata keempat nama tokoh ini juga mengandung nilai falsafah. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah.
Artinya agama Islam merupakan pedoman hidup bagi manusia, supaya ia tidak tersesat kejalan yang buruk. Selain itu tokoh semar juga mampu menjadi symbol dari agama yang memiliki prinsip hidup bagi setiap umat beragama.
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Nala Qarin memiliki arti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Bentuk wajangan ini kemudian menjadi watak para mubaligh.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.
Keempat tokoh tersebut memiliki bentuk yang lucu dan juga aneh, begitu pula watak dan pola perilakunya yang unik yang banyak menarik perhatian orang. Dalam keempat tokoh pewayangan ini terkadang akan muncul tokoh togog yang berarti Iblis atau “thagut”.
Dalam cerita pewayangn togog merupaka tokoh yang kontroversial. Togog merupakan seorang yang sangat bijaksana, rajin bersedekah, memiliki kesucian hati, dan menjaga tingkah laku dan tutur kata kepada semua orang. Namun sayangnya watak itu merupakan watak yang bukan sebenarnya. Watak itu hanyalah pembungkus dari watak asli yang di miliki oleh togog yakni licik, culas dan jahat. Watak tokoh ini sama persis seperti watak asli dari Iblis.
Kisah di atas ingin kita gelar bersama sebagai salah satu paradigma dalam dakwah. Mengajarkan agama bukan berarti mengembalikan mundur peradaban ke titik nol kembali. Budaya adalah hakikat dan eksistensi manusia itu sendiri. Menjadi manusia adalah berbudaya. Dan budaya akan terus berubah dan berkembang.
Dalam konteks ini, dakwah harus mampu beradaptasi dengan budaya sehingga menghasilkan dakwah yang inovatif. Di sinilah kata kunci kedua selain adaptasi dan inovasi dakwah adalah memudahkan dalam mencerna ajaran. Ruang dakwah harus menjadi ruang yang masyarakat dari level alim hingga awam mampu menangkap pesan keagamaan. Karena itulah, dakwah tidak harus monoton dengan satu tampilan dan simbol. Dakwah yang kaya warna sehingga mampu ditangkap dalam ruang dan masyarakat yang beragam.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah