Kematian adalah keniscayaan. Tidak ada orang yang bisa terhindar dari mati. Ketika mati menjemput, manusia tidak bisa mengelak atau menunda walaupun hanya sedetik. Mati adalah sebuah takdir yang misterius bisa terjadi kapan pun dan di mana pun.
Manusia tidak perlu memikirkan tentang kapan ajal itu datang. Semuanya hanya menunggu giliran sesuai tulisan takdir. Saat kita melaksanakan shalat, bisa jadi malaikat maut menghampiri dan menarik nyawa kita. Saat kita bersenda gurau dengan sanak famili, bisa jadi sang malaikat datang menjadi tamu tak diundang yang menarik umur kita. Dan-sungguh semoga kita dijauhkan-saat kita melakukan kemaksiatan, bisa jadi malaikat terjun menarik nafas kita.
Kita tidak dalam posisi yang bisa memilih kapan dan di mana kita akan menjalani kematian. Bisa jadi di masjid, mushalla, rumah sakit, tempat kerja atau di jalanan. Semua tempat berpotensi menjadi tempat kita menghela nafas terakhir. Tidak ada tempat yang bisa menjadi perlindungan ketika memang ajal sudah datang.
Allah mengingatkan : “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS. An-Nisa’ (4): 78). Tidak ada peralatan canggih dan tidak ada benteng tangguh yang bisa menghalangi kematian seseorang.
Persoalannya bukan bagaimana kita menghindari atau kapan ajal kita datang, tetapi bagaimana kita menjemput ajal dengan sempurna. Hal sia-sia jika kita terus menanyakan kapan kematian kita atau setidaknya berusaha untuk menghindari ajal. Paling penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengalami soft landing dalam menjalani kematian.
Bagaimana mencapai itu? Mari kita meresapi salah satu sabda Nabi : “Setiap hamba Allah itu akan dibangkitkan dari kuburnya sama seperti keadaan ketika ia meninggal.” (HR. Muslim, no. 2878).
Ketika hari kebangkitan terjadi setelah kiamat, manusia yang meninggal akan dibangkitkan sesuai dalam keadaan mereka meninggal. Manusia yang mati dalam ibadah akan bangkit dengan sinar keindahan yang begitu memukau. Sementara orang yang mati dalam keadaan maksiat, ia bangkit dalam keadaan kotor.
Bagaimana keadaan yang terbaik dalam menghadapi kematian? Tentu mati yang terbaik adalah dalam keadaan beriman kepada Allah. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka dia akan masuk surga (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, selalu hiasilah bibir kita dengan selalu berdzikir kepada Allah dengan kalimat tahlil. Selalu tidak bosan setelah shalat untuk memperbanyak tahlil agar ketika ajal menjemput hanya ada satu kalimat yang menyatu dalam pikiran dan hati kita : la ilaha illah, Muhammadur Rasulullah.
Itulah persiapan menghadapi kematian yang sangat indah. Semoga kita dipertemukan dengan ajal dalam keadaan menghiasi diri dengan kalimat suci, tahlil.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah