Ngatawi Al Zastrouw
Ngatawi Al Zastrouw

Pribumisasi Islam Jadi Vaksin Kultural Lawan Radikalisme

Jakarta – Narasi kelompok puritan yang menuduh umat Islam Nusantara tidak percaya diri untuk memformalisasi syariat Islam adalah sebuah narasi yang dangkal. Faktanya, Islam telah lama mewujud di Indonesia, bukan sebagai hukum formal yang kaku, tetapi sebagai etika publik yang kokoh.

Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, S.Ag., M.Si., memberikan perspektif yang mencerahkan tentang mengapa “pribumisasi Islam” adalah benteng terkuat melawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRET). Menurut Zastrouw, praktik keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar di Nusantara, khususnya di Jawa, memang bukan sepenuhnya syariat, tetapi mengandung nilai-nilai yang relevan dengan maqasid syariah, atau tujuan utama syariat, yaitu untuk kemaslahatan umat.

“Hal inilah yang menyebabkan para wali dan ulama Nusantara tidak merusak atau menghilangkan praktik keagamaan dan budaya Nusantara yang sesuai dengan maqasid  syariah, bahkan dijaga dan dikembangkan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Dengan demikian, jelasnya, klaim bahwa umat Islam di Indonesia perlu memformalkan syariat adalah sebuah kekeliruan, karena nilai-nilai syariat sudah lama hidup dalam budaya dan etika sosial masyarakat. Formalisasi yang dipaksakan justru akan merusak keharmonisan yang telah dibangun oleh para leluhur.

Zastrouw juga menekankan bahwa konsep pribumisasi Islam adalah kunci untuk menolak narasi puritan dan radikal yang sering menuduh sikap toleransi dalam keberagaman sebagai kompromi yang melemahkan agama. Ia justru melihatnya sebagai sebuah kekuatan yang tak tergantikan.

“Praktik pribumisasi Islam dapat menjadi sarana menolak puritanisme agama yang menyebabkan terjadinya sikap intoleran, eksklusif, dan radikal. Pribumisasi Islam dapat menjadi vaksin kultural yang dapat meningkatkan imunitas ideologis masyarakat sehingga tidak mudah digerogoti virus intoleransi, radikal, dan eksklusif,” jelasnya.

Menurutnya, melalui pribumisasi, Islam dapat tumbuh subur dan inklusif tanpa harus memaksakan satu tafsir tunggal yang sering kali sempit dan tekstual. Inilah yang membedakan Islam di Indonesia, yang majemuk dan toleran, dengan wajah Islam di beberapa negara lain yang dipenuhi konflik.

Propaganda ekstrem kerap mempromosikan gagasan “negara Islami” dan menyebut Pancasila sebagai ideologi sekuler yang berlawanan dengan Islam. Dr. Zastrouw dengan tegas menolak narasi ini dan menawarkan argumen-argumen yang kuat untuk membuktikannya.

“Argumen pertama: adanya sila Ketuhanan. Sila ini mencerminkan bahwa Pancasila bukan sekuler karena sekularisme menolak penggunaan agama di ruang publik. Kedua, ada tafsir agama terhadap Pancasila. Dalam konteks masyarakat muslim, diturunkan ayat-ayat Alquran yang menjadi dasar dan sumber dari masing-masing sila,” paparnya.

Bukti historis juga tak terbantahkan. Dr. Zastrouw menegaskan bahwa Pancasila adalah hasil ijtihad para ulama, kiai, dan tokoh agama.

“Jadi, tidak mungkin sekuler,” tambahnya.

Dengan demikian, Pancasila bukanlah musuh, melainkan kalimatun sawa (titik temu) yang sah dan etis untuk merealisasikan nilai-nilai Islam di ruang publik Indonesia.

Dr. Zastrouw juga menyoroti peran strategis tokoh agama dan budaya, termasuk dirinya, dalam membimbing pemuda yang sering menjadi target propaganda ekstrem. Ia mengidentifikasi dua pendekatan utama untuk melawan tafsir keagamaan yang kaku.

“Pertama, pada level above the line, yaitu membuat narasi yang menarik, sederhana, dan mudah dipahami mengenai hal-hal konkret yang memilah ajaran agama yang doktriner, qath’i (pasti), dan ushul (pokok) yang tidak dapat diubah, dengan praktik keagamaan yang furu’ (cabang), ijtihadi (terpikirkan), dan dapat disesuaikan penerapannya karena bersifat kultural. Narasi ini harus dikembangkan secara masif dan aktif di ruang publik,” jelasnya.

“Kedua, level below the line, yaitu melalui dialog langsung dan memberi contoh yang konkret dalam kehidupan nyata. Melalui dua cara ini, pemuda dapat dibimbing untuk membedakan antara ajaran agama yang esensial dengan ideologi politik yang disamarkan sebagai ajaran agama,” tambahZastrouw.

Untuk menjaga ruang publik tetap inklusif dan progresif, Zastrouw menegaskan bahwa negara dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing yang vital. Negara harus membuat kebijakan yang mendorong sikap inklusif, moderat, dan toleran, serta menegakkan hukum dengan tegas terhadap para pelaku intoleran.

“Sementara itu, peran masyarakat sipil adalah melakukan kontrol moral atas tindakan-tindakan intoleran, membangun kebiasaan hidup toleran, dan membentuk jejaring untuk gerakan melawan radikalisme,” pungkasnya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

bullying

Bullying yang Merenggut Nyawa: Saat Pendidikan Kita Kehilangan Jiwa Islamnya

Kasus perundungan yang berujung kematian—termasuk yang baru-baru ini terjadi di Tangerang—sekali lagi mengguncang kesadaran kita …

TOT Moderasi Beragam UIN Maliki Malang

Merawat Iman di Era Digital: UIN Maliki Malang Siapkan Dosen Muda sebagai Penebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Batu — Di tengah kesejukan alam Kota Batu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang membuka Training …