pribumisasi Islam
pribumisasi Islam

Gus Dur dan Pribumisasi Islam

Gus Dur menjadi icon kaum sarungan yang gagasan-gagasannya, melampau sekat-sekat tradisionalis dan modernis. Tentang pribumisasi Islam misalnya, sebagian kelompok mencaci-maki karena dianggap pemikiran Gus Dur sesat-nyleneh; kelompok lainnya memilih diam enggan berkomentar’ dan sebagian lagi mencoba memahaminya secara perlahan.

Dari sana, lantas tidak hanya orang Indonesia sendiri, para peneliti Barat kembali mempertanyakan, benarkah label tradisionalis-konservatif hasil konstruksi pengetahuan para ilmuwan sebelumnya itu layak disematkan kepada NU dan terutama tokoh-tokohnya seperti Gus Dur?

Gus Dur menerangkan bahwa pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma-norma (keagamaan) demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempertimbangkan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash.

Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam. Interaksi Islam dengan realitas-realitas historis tidak akan mengubah Islam (itu sendiri). Melainkan, itu hanya akan mengubah manifestasi agama Islam dalam kehidupan.

Pribumisasi bagi Gus Dur adalah upaya untuk mengukuhkan kembali akar budaya, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Pribumisasi Islam dengan sendirinya bertindak sebagai antitesis atas fenomena maraknya “Arabisasi” di kalangan umat Islam. Arabisasi dianggap sebagai representasi ajaran agama, sedangkan di luar itu dianggap bukan ajaran agama.

Gus Dur mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang Arabisasi itu. Mengapa harus menggunakan istilah “shalat”, kalau kata “sembahyang” juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus “dimushalakan”, padahal dahulu cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa “sreg” kalau dijadikan “milad”.

Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz atau syeikh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan “Qur’an Batak” dan “hadis Jawa”. Islam tetap Islam di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan “bentuk luar”-nya. Salahkah kalau Islam “dipribumisasikan”, sebagai manifestasi kehidupan?

Gus Dur dan Komunitas NU

Di kalangan NU, gagasan pribumisasi Islam sebenarnya merupakan wujud dari kaidah ushul, yang sekaligus menjadi jargon terkenal, al-muhafadhatu ’ala qadimi al-shalih wa al-ahdu bi al-jadidi al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Gagasan-gagasan Gus Dur, termasuk tentang pribumisasi Islamnya, justru banyak diapresiasi oleh kalangan muda intelektual NU.

Gus Dur sebagai seorang muslim tradisionalis, cenderung menggunakan ungkapan-ungkapan keagamaan yang didasarkan pada budaya asli lokal Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam sikapnya terhadap wayang kulit, suatu bentuk seni yang berasal dari masa pra-Islam dalam dunia Hindu Asia Tenggara. Ia menghormati bukan saja seni pewayangan, melainkan juga isi spiritualnya. Kebiasaan inilah yang seringkali menimpa banyak pengamat “kebingungan” atas pemikiran Gus Dur.

Gus Dur adalah seorang yang sangat menganjurkan pluralisme dan toleransi, tetapi pada saat bersamaan adalah orang yang sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan umat Islam itu sendiri. Padahal sebuah idiom Barat modern mengatakan bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran (Barton, 2002). Sikap dan pemikiran Gus Dur yang demikian itu sungguh sangat mengagumkan.

Karenanya, di komunitas NU, Gus Dur dalam ungkapan Nur Khalik Ridwan (2010) adalah guru besar kaum muda dan para kiai—meskipun juga ada orang yang tidak suka dan tidak sepaham dengan Gus Dur, tapi itu adalah lumrah dan wajar. Ketidaksepahaman itu, lagi-lagi juga tidak menutup kebesaran dan posisinya sebagai guru besar kaum Nahdliyin, terutama bagi kaum muda NU dan kiai-kiai NU. Posisi Gus Dur sebagai guru besar kaum Nahdliyin tidaklah diperdebatkan, sebagaimana orang memperdebatkan kewajiban dan tidaknya mendirikan negara Islam, karena memang begitulah adanya.

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …