Dilansir dari laman republika.co.id Di hadapan ratusan peserta acara “One Day Be Santri: Menebar Cinta untuk Indonesia”, dai muda itu mengingatkan bahwa dakwah dapat dilakukan di mana saja, termasuk luar masjid.
Dengan nada humor-reflektif, Habib Husein Ja’far menuturkan obrolan yang sempat diikutinya mengenai tempat ceramahnya saat ini. Panitia acara memberitahukannya bahwa ruangan itu pun biasa dipakai sebagai gereja oleh sebagian kalangan.
“Agak kaget tadi ketika masuk, saya duduk di belakang. Di samping saya itu, ada dua injil. Nah, kemudian katanya ruangan ini-itu juga biasa digunakan sebagai gereja,” ujar Habib Ja’far di hadapan ratusan hadirin acara “One Day Be Santri: Menebar Cinta untuk Indonesia” yang digelar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di Wang Plaza, Jakarta Barat, Sabtu (18/10/2025).
“Jadi Gus Mahrus (pengasuh Pesantren Asshiddiqiyah –Red) ini lebih hebat dari saya berkali lipat. Saya susah log-in satu orang saja. Ini gerejanya langsung dibikin log-in,” candanya yang kembali disambut tawa hadirin.
Menurut Habib Ja’far, dari hal itu dapat dipetik pelajaran penting. Sesungguhnya, dakwah Islam tidak tersekat oleh tempat.
“Sering kali, Nabi Muhammad menyadarkan kita bahwa semua tempat yang digunakan untuk kebaikan adalah masjid. Bumi Allah ini semuanya masjid,” ucapnya.
Habib Ja’far menyayangkan, banyak orang kini yang masih keliru dalam memahami dakwah. Mereka cenderung memprioritaskan pembangunan tempat, bukan ruang-ruang kebaikan.
“Mindset kita hari ini adalah place, bukan space. Tempat, bukan ruang. Padahal, Nabi SAW tidak membangun tempat besar. Beliau membangun ruang yang baik,” ucap Habib Ja’far.
Ia mengingatkan, Masjid Nabawi pada zaman Rasulullah SAW tidaklah sebesar yang ada saat ini. Luasnya terbilang sempit dibandingkan kelapangan Masjid Nabawi kini. Namun, saat itu Nabi SAW menggelar pelbagai kegiatan dan majelis yang menebar maslahat begitu luas. Cakupannya pun bukan hanya soal-soal ibadah mahdhah, tetapi juga pendidikan, sosial, budaya dan bahkan politik.
Sayangnya, sebagian umat Islam kini sering terjebak pada simbol, bukan substansi. Karena itu, tutur Habib Ja’far, publik dapat dengan mudah menemukan masjid-masjid yang berukuran besar, tetapi ruang dakwahnya sepi.
“Tempat ada, tapi ruh dakwahnya hilang. Kiai-kiai, habib-habib, terdahulu itu yang dilakukan adalah bangun ruangnya terlebih dahulu. Urusan tempat, itu belakangan saja,” ucapnya.
Dalam ceramahnya, Habib Ja’far juga menyinggung pentingnya menghadirkan keberkahan dalam setiap aktivitas dakwah. Ia pun mengajak hadirin untuk lebih meneladan para ulama, seperti Habib Umar bin Hafidz asal Yaman.
“Ketika Habib Umar membaca Maulid, beliau tetap membuka kitab. Bukan karena tidak hafal, tetapi agar mata dan lisan juga ikut mendapat pahala. Semua anggota tubuh menjadi saksi kebaikan di akhirat,” katanya.
Acara “One Day Be Santri” ini diselenggarakan Pesantren Asshiddiqiyah dalam rangka menyambut Harlah yang ke-40 dan peringatan Haul Abah KH Noer Muhammad Iskandar yang ke-5.
Acara ini merupakan kegiatan edukatif yang memperkenalkan nilai-nilai pesantren kepada generasi muda kota. Turut hadir sejumlah tokoh muda, dai, dan penghafal Alquran. Ratusan peserta dari berbagai daerah ikut meramaikan momen ini.