Dalam diskursus publik, game online sering diposisikan sebagai produk hiburan semata. Namun, jika kita bersedia melihat lebih dalam, data-data empiris menunjukkan adanya sebuah paradoks.Kita perlu meninjau kembali asumsi kita bahwa ruang virtual adalah ruang aman. Data di lapangan justru menyajikan realitas yang sebaliknya.
Beberapa studi di Indonesia menunjukkan korelasi yang sangat kuat mencapai hampir 90% antara paparan konten kekerasan di game dengan peningkatan agresivitas remaja. Komisi Perlindungan Anak menyatakan, telah terjadi pergeseran perilaku kekerasan pada remaja di Bekasi.
Pergeseran perilaku kekerasan berubah dari kekerasan seksual menjadi tindak kekerasan fisik. Hal ini dipicu karena peningkatan tren remaja bermain game online. Bermain game online yang menonjolkan unsur kekerasan dan dilakukan dengan frekuensi yang tinggi, akan memicu keinginan meniru dan mempraktikkan apa yang ada.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa 46,2% anak Indonesia berusia 0–18 tahun mengalami kecanduan game online.
Di Blitar, ada seorang remaja 17 tahun yang bunuh diri karena kecanduan game online. Pemicunya adalah karena smartphone miliknya disita oleh orang tuanya, ketika ia sudah kecanduan game online.
Coba kita renungkan sejenak.
Di dalam game tembak menembak, seorang anak bisa menghabisi puluhan musuh dalam satu sesi. Mereka menembak, memukul, menusuk… dan untuk setiap tindakan agresif itu, mereka mendapat reward. Entah itu poin, item baru, atau kenaikan level. Perilaku agresif itu dihargai. Diulang ribuan kali, berjam-jam setiap hari.
Jangan-jangan… tanpa kita sadari, proses repetisi dan reward inilah yang sedang kita bicarakan? Mungkinkah ini yang disebut para ahli sebagai “normalisasi kekerasan”?
Ketika otak kita, terutama otak remaja yang masih berkembang, terus-menerus dicekoki stimulus bahwa agresi adalah strategi yang valid untuk menang bahkan mendapatkan reward apakah mungkin di alam bawah sadar, batas antara yang nyata dan fiksi itu mulai terkikis?
Jika agresi adalah dampak psikologis yang terlihat, ancaman kedua bersifat lebih terstruktur dan tersembunyi, yaitu radikalisasi.Roblox menjadi ruang baru yang rentan. Modus operandi ini berjalan dengan sangat halus, memanfaatkan ekosistem yang selama ini kita anggap aman. Prosesnya tidak dimulai dengan ajakan radikal yang frontal, melainkan melalui interaksi kasual di dalam arena permainan itu sendiri.
Perekrut hadir sebagai “teman main”, membangun relasi dan kepercayaan secara organik di antara sesi-sesi permainan. Setelah relasi personal ini terbentuk dan anak merasa nyaman, fase kedua dimulai. Mereka diundang ke server Discord khusus, grup Telegram, atau WhatsApp, yang secara efektif berada di luar jangkauan pengawasan orang tua maupun moderasi platform game.
Di dalam wadah eksklusif inilah indoktrinasi berlangsung. Karena bersifat tertutup, lingkungan ini bertransformasi menjadi ruang di mana ideologi ekstrem dapat disuntikkan terus-menerus. Anak-anak yang mengalami isolasi sosial atau perundungan di dunia nyata menjadi target primer, karena mereka mencari validasi dan rasa memiliki yang ditawarkan oleh komunitas virtual ini.
Kebijakan reaktif seperti pemblokiran platform mungkin memberikan ketenangan sesaat, namun itu adalah solusi parsial yang gagal mengatasi akar masalah. Ini ibarat mengobati gejala tanpa mendiagnosis penyakitnya.
Temuan BNPT tentang adanya 6.000 lebih konten radikal di ruang digital dalam delapan bulan menunjukkan bahwa lanskap ancamannya jauh lebih besar dari satu platform saja. Apa yang kita butuhkan adalah sebuah respons yang terstruktur dan kolaboratif, yang beroperasi secara simultan di tiga level berbeda.
Pertama, di level mikro, yaitu unit keluarga. Peran orang tua tidak bisa lagi sebatas menjadi pengamat pasif, tetapi mendampingi anak secara proaktif: ikut duduk bersama dan mendiskusikan apa yang anak lihat di dalam game. Kedua, di level meso, yakni platform itu sendiri. Beban tanggung jawab ada pada perusahaan teknologi. Mereka tidak bisa lagi mengelak dari akuntabilitas dengan berlindung di balik status mereka sebagai penyedia semata. Mereka harus mengupayakan moderasi konten, sistem verifikasi usia yang ketat dan transparansi dalam pelaporan konten berbahaya.
Terakhir, di level makro, negara dan institusi pendidikan memegang peran strategis. Literasi media, resiliensi digital, dan critical thinking harus diintegrasikan secara serius sebagai bagian integral dari kurikulum. Pada akhirnya, garis akhirnya bukanlah membebaskan mereka dari pengaruh game. Tujuannya adalah membangun resiliensi dan memastikan bahwa anak-anak kita memiliki imunitas kognitif dan emosional untuk berinteraksi di dunia virtual tanpa kehilangan kemanusiaan mereka.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah