kitab fikih
kitab fikih

Apakah yang Tidak Dilakukan Nabi Berarti Haram?

Banyak sekali kegiatan keagamaan (baca: islam) yang menyemarakkan syiar, dakwah dan tarbiyah di tengah masyarakat. Namun, sayangnya kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan Nabi, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkan terkait hal itu. Sebagai contoh misalnya perayaan Isra Mikraj.

Di sebagian negara Islam dan mayoritas Islam peringatan Isra Mikraj diperingati secara meriah. Bahkan, sebagian menjadikan peringatan ini sebagai hari libur Nasional, sebutlah Indonesia, Malaysia, Brunie Darussalam, Bangladesh dan bahkan Maladewa. Tentu, masih banyak negara lain yang memperingatinya, walaupun tidak mengadopsinya sebagai bagian dari peringatan kenegaraan.

Namun, bagi sebagian orang atau kelompok mengatakan ini bid’ah. Dasarnya pada dalil umum tentang kesempurnaan Islam atau yang paling umum dinyatakan adalah hadist tentang mengadakan hal baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Dua dalil umum itu kerap menjadi dasar ijtihad para kelompok yang ingin menjaga “kemurnian dan kesempurnaan” Islam.

Tentu, harus digarisbawahi kelompok ini juga berijtihad karena tidak menemukan dalil yang eksplisit (sharih) tentang penghukuman peringatan semacam itu. Artinya, baik yang membolehkan maupun tidak membolehkan sama-sama tidak memiliki dasar kuat untuk menghukumi. Semuanya berada pada posisi yang mengambil ijtihad dari dalil umum.

Lantas, pertanyaannya apakah yang tidak dikerjakan Nabi berarti haram? Ini menjadi sangat menarik untuk dipahami agar umat tidak terkungkung pada sesuatu yang mengatasnamakan kemurnian dan kesempurnaan Islam, tetapi justru jatuh dalam kejumudan.

Misalnya, ulama menetapkan hukum yang tidak ada zaman Nabi bukan berarti ulama sedang mengadakan hal baru dalam agama. Sumber utama Islam adalah al-Quran dan hadist yang dikaji dengan berbagai pendekatan sehingga melahirkan hukum baru terhadap perkara baru dalam persoalan keumatan.

Sayyid Abdullah al-Ghumari, ulama asal Maroko, dengan keahlian, ulumul quran, hadist dan juga fikih, menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak dilakukan Nabi tidak masuk kategori larangan kecuali ada larangan eksplisit di dalam Al-Quran dan Hadist. Semua hal aktivitas, kegiatan dan tradisi yang dilakukan umat dalam rangka membangun peradaban Islam tidak berarti haram walaupun tidak pernah dilakukan Nabi.

Larangan dalam Islam dijelaskan dalam tiga kategori yang sangat eksplisit di dalam al-Quran dan hadist. Larangan itu biasanya dengan kalimat tegas menunjukkan keharaman, larangan atau ancaman siksa. Larangan ini kemudian menjadi pegangan umat Islam untuk dijauhi. Karena itulah, tidak ada penegasan dalam al-Quran dan hadist bukan berarti sesuatu itu menjadi dilarang dan haram.

Banyak hal terkait hal baru yang kemudian menjadi syiar dan dakwah Islam yang membentuk peradaban luar biasa. Mihrab dalam masjid tidak ada zaman Nabi, Menara masjid juga tidak ditemukan era Nabi, kubah masjid apalagi merupakan adopsi dari peradaban Romawi, bedug di masjid, toa dan lain sebagainya. Ini baru menyebutkan entitas barang budaya yang menjadi identitas Islam masa kini.

Begitu pula perayaan besar yang tidak masuk dalam kategori merusak akidah dan menambah ibadah mahdah dalam Islam, semisal maulid Nabi, Isra Mikraj, peringatan tahun baru Islam, dzikir berjamaah, istighasah bersama dan sebagainya. Semua tradisi keagamaan ini menjadi identitas baru yang menambah kebesaran Islam.

Karena itulah, menghindari hal baru dalam rangka memeriahkan syiar, dakwah dan tarbiyah Islam sangat merugikan Islam. Semua kegiatan itu tidak merusak akidah Islam. Semua aktivitas yang dapat mendorong umat Islam lebih nyaman mempraktekkan syariat Islam, mensyiarkan ajaran Islam, mendakwahkan Islam selama tidak bertentangan dengan syariat adalah sebuah kebolehan, bahkan bernilai ibadah.

Konteks budaya dan tradisi masa Nabi yang sederhana berbeda dengan konteks budaya saat ini yang menuntut ijtihad yang luar biasa. Mengikuti sunnah Nabi bukan berarti mengikuti pola kehidupan masa lalu, tetapi mengikuti tuntunan Nabi agar mampu menjalani kehidupan masa kini.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Mensos di Pontianak

Ketika Doa Menyatukan Hati: Gus Ipul Temukan Makna Toleransi di Sekolah Rakyat Pontianak

Pontianak — Di tengah riuh suara anak-anak yang sedang makan siang, suasana hening seketika menyelimuti …

KH M Hilmi Assidiqi

Jihad Kebangsaan Santri: Bangun Bangsa Sesuai Kemampuan untuk Wujudkan Cita-cita Luhur Berdasarkan Pancasila

Jakarta — Perjuangan santri tidak hanya berkutat pada spiritualitas, tetapi juga pada semangat kebangsaan. Ranah …