argumen negara Islam
argumen negara Islam

Argumen Menolak Negara Islam

Al-Qur‘an maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menentukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.


Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara muncul pada saat Nabi Muhamamd  Saw. wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum.

Setelah wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas bermusyawarah memilih pengganti (khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat  ini, menurut sebagian kalangan, menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’) mereka dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi sumber hukum Islam.

Pemahaman yang demikian menggiring pada wacana tentang bagaimana relasi ideal antara negara dengan ajaran agama. Apakah urusan politik, sistem tata negara dan pemerintahan, diatur secara formal di dalam Islam? Refleksi terhadap pertanyaan ini melahirkan beragam tipologi pemikiran.

Pertama, paradigma integralistik, yaitu hubungan agama dan negara sebagai satu kesatuan, yang tidak boleh dipisahkan. Negara dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Teori ini disebut juga dengan paham teokrasi.

Kedua, paradigma sekularistik, yaitu tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan duniawi, sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.

Ketiga, paradigma simbiosis-mutualistik, yaitu agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat terlaksana jika ada lembaga yang bernama negara. Sebaliknya, negara tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan perilaku amoral dalam negara.

Indonesia, dalam konteks paradigma di atas, lebih dekat pada paradigm simbiosis-mutualistik. Artinya, meski mayoritas Islam, tidak menjadikan agama sebagai dasar dan ideologi, tetapi Pancasila. Namun meyakini, di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai positif sebagaimana diajarkan oleh agama.

Sistem demokrasi yang dijalankan oleh Indonesia merupakan sistem yang berbanding terbalik dengan teokrasi (sistem khilafah). Kekuasaan, bagi sistem teokrasi, berpusat pada otoritas raja atau presiden yang absolut. Sementara demokrasi, sebagaimana maknanya, berasal dari dua kata bahasa Yunani; demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

 Kekuasaan pemerintahan dalam sistem demokrasi berada di tangan rakyat mengandung tiga pengertian, yaitu pemerintah dari rakyat (goverment of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for people). Pemahaman ini, secara substansial jelas tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan karenanya sistem demokrasi dapat dikatakan “islami”, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman, seperti musyawarah, keadilan, amanah, dan lain sebagainya. 

Al-Qur‘an maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menentukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.

Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur‘an maka pembentukan “negara Islam” dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur‘an seperti, musyawarah (syura), keadilan (‘adalah), persamaan (musawah), hak-hak asasi manusia (huquq al-adami), perdamaian (shalah), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara.

Ali Usman, pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

keluarga sakinah

Tiga Kunci Mewujudkan Keluarga Sakinah

Berdasarkan data Kementerian Agama pada tahun 2022 angka perceraian secara nasional 516.334 kasus. Angka ini …

047959700 1710778747 830 556

Ketum Muhammadiyah Ingatkan Pendidikan Nasional Jangan Jadi Pabrik Robot

YOGYAKARTA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi momentum untuk mengingatkan kembali bahwa sejatinya pendidikan tidak …