JAKARTA — Prancis secara resmi melarang penggunaan Hijab termasuk dalam sebuah pertandingan olahraga, meski demikian beberapa diantara atlet yang berlaga di Olimpiade Prancis masih tetap mengenakan hijabnya. Salah satunya merupakan atlet Angkat Besi dari Indonesia bernama Nurul Akmal asal Aceh.
Dilansir dari laman republika.co.id Meski belum berhasil meraih medali pada pertandingan final cabang olahraga angkat besi kelas +81 kilogram putri, lifter kebanggaan Indonesia Nurul Akmal tak berkecil hati. Atlet asal Aceh ini mengaku puas bisa tampil di arena lagi dengan mengenakan hijab untuk pertama kalinya pada final olimpiade yang berlangsung di Paris, Prancis, Ahad (11/8/2024).
“Ini pertama kali di atas panggung pakai hijab. Bangga banget walaupun ada isu larangan hijab di Olimpiade, tapi Amel bisa pakai. Karena Amel orang Aceh, jadi mau menunjukkan itu semua orang. Amel mau kasih tau kalau wanita Muslim berhijab itu juga bisa berprestasi tampil Olimpiade,” jelas dia dalam keterangan tertulis Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang diterima di Jakarta, Ahad.
Lebih lanjut, Nurul menjadikan pertandingannya pada Olimpiade Paris 2024 sebagai inspirasi untuk meningkatkan kemampuan menghadapi kompetisi di masa mendatang.”Terima kasih semua yang sudah mendukung Amel (sapaan Nurul Akmal). Banyak pelajaran yang bisa diambil, Amel ketemu lawan-lawan kelas dunia. Ke depan Amel harus lebih semangat dan lebih baik lagi,” ujar Nurul.
Nurul merupakan atlet terakhir dari tim Indonesia yang tampil di Olimpiade Paris 2024 pada laga angkat besi kelas +81 putri di South Paris Arena 6, Ahad (11/8) waktu setempat.
Lifter asal Aceh itu menyudahi pertandingan dengan bertengger pada peringkat ke-12 dengan total angkatan 245 kg. Pada laga angkatan snatch, Nurul berhasil mengangkat beban 105 kg pada percobaan pertamanya. Namun, ia gagal pada dua percobaan selanjutnya ketika mengangkat beban 110 kg.
Selanjutnya, pada laga angkatan clean and jerk, Nurul yang memasang beban 140 kg berhasil dengan mulus. Di angkatan kedua, ia berhasil menambah bebannya menjadi 145 kg namun terlalu cepat menurunkan bebannya sehingga dianggap gagal, dan pada percobaan terakhirnya juga gagal di angkatan beban 151 kg.
Nurul mengatakan, dirinya merasakan atmosfer kompetisi yang sangat berbeda pada Olimpiade Paris dibandingkan dengan saat tampil pada Olimpiade Tokyo 2020.”D sini banyak penonton dan semuanya suportif siapapun yang main didukung sama mereka. Hari ini saya sudah berusaha semaksimal mungkin, main juga enjoy,” ujarnya.
Laga angkat besi +81 putri dimenangkan lifter asal China Li Wen Wen yang meraih medali emas dengan total angkatan 309 kg. Sedangkan medali perak diraih Park Hyejeong asal Korea Selatan lewat 299 kg dan perunggu dimenangkan Emily Campbell dari Inggris dengan angkatan total 288 kg.
Di Olimpiade Paris 2024, Indonesia mengikutsertakan sebanyak 29 atlet dari 12 cabang olahraga. Indonesia berhasil mengantongi dua medali emas melalui atlet panjat tebing Veddriq Leonardo dan lifter putra Rizki Juniansyah, serta satu medali perunggu yang disumbangkan atlet bulu tangkis tunggal putri Gregoria Mariska Tunjung.
Amnesty International, sebuah organisasi non-pemerintah internasional dengan tujuan mempromosikan seluruh hak asasi manusia, mengkritik keras larangan penggunaan hijab oleh para atlet Muslimah Prancis di Olimpiade Paris.
Larangan ini dikeluarkan pemerintah Prancis dengan alasan netralitas politik. Padahal Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah sejak 1996 mengangkat larangan menggunakan hijab bagi atlet yang berpartisipasi di Olimpiade.
Atlet berhijab telah meraih medali di cabang olahraga anggar, angkat besi, dan taekwondo di Olimpiade sejak larangan tersebut dicabut. Ini menunjukkan keberhasilan perubahan IOC dalam memperluas aksesibilitas perempuan ke olahraga. Pasal 59 Piagam Olimpiade mengatur berbagai sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuannya.
Namun yang terjadi di Prancis justru langkah mundur. Amnesty menyebutkan, larangan hijab dalam olahraga Prancis memperlihatkan standar ganda yang diskriminatif menjelang Olimpiade dan Paralimpiade. Otoritas Prancis dinilai telah melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan memperlihatkan kemunafikan diskriminatif dan kelemahan yang sangat besar dari IOC yang tak bereaksi maksimal atas ketentuan ini.
Hal tersebut terungkap dalam sebuah laporan baru Amnesty yang diterbitkan menjelang Olimpiade Paris berjudul “Kami tidak bisa bernapas lagi. Bahkan olahraga pun, kita tidak bisa melakukannya lagi”: Pelanggaran hak asasi perempuan Muslim dan anak perempuan melalui larangan hijab dalam olahraga di Prancis.
Laporan ini merinci dampak buruk yang ditimbulkan oleh larangan hijab terhadap perempuan Muslim dan anak perempuan di semua level olahraga di Prancis. “Melarang atlet Prancis berkompetisi dengan hijab olahraga di Olimpiade dan Paralimpiade merupakan ejekan terhadap klaim bahwa Paris 2024 adalah Olimpiade Kesetaraan Gender pertama dan membongkar diskriminasi gender yang rasis yang mendasari akses olahraga di Prancis,” ujar Anna Blus, Peneliti Hak Asasi Perempuan Amnesty International di Eropa, dikutip dari laman Amnesty, Jumat (19/7/2024).
Ia mengatakan, aturan diskriminatif yang mengatur apa yang dikenakan perempuan merupakan pelanggaran hak asasi perempuan Muslim dan anak perempuan. Hal ini berdampak buruk pada partisipasi mereka dalam olahraga, menghalangi upaya untuk membuat olahraga menjadi lebih inklusif dan lebih mudah diakses.
Larangan hijab di berbagai cabang olahraga di Prancis telah menciptakan situasi yang tidak dapat dipertahankan. Negara yang menjadi tuan rumah Olimpiade ini melanggar berbagai kewajiban di bawah perjanjian hak asasi manusia internasional yang menjadi bagian dari perjanjian tersebut. Ini juga termasuk komitmen dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam kerangka kerja hak asasi manusia IOC.
Meskipun ada tuntutan berulang kali, IOC sejauh ini menolak untuk meminta otoritas olahraga di Prancis mencabut larangan terhadap atlet mereka mengenakan hijab berlaga di Olimpiade di semua tingkatan olahraga. Menanggapi surat dari koalisi organisasi yang mendesaknya untuk mengambil tindakan, IOC menyatakan bahwa larangan hijab di Prancis berada di luar kewenangan gerakan Olimpiade, dengan mengklaim bahwa “kebebasan beragama ditafsirkan dengan berbagai cara oleh berbagai negara.”
Tanggapan IOC tidak menyebutkan hak-hak lain yang dilanggar oleh larangan otoritas Prancis tersebut, seperti kebebasan berekspresi dan akses terhadap kesehatan.
Larangan menggunakan penutup kepala olahraga di Prancis bertentangan dengan aturan pakaian badan olahraga internasional seperti FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional), FIBA (Federasi Bola Basket Internasional), dan FIVB (Federasi Bola Voli Internasional). Amnesty mengamati peraturan di 38 negara Eropa dan menemukan bahwa Prancis adalah satu-satunya negara yang telah mengabadikan larangan penutup kepala religius baik di tingkat hukum nasional maupun peraturan olahraga individu.
Salah satu yang menyuarakan kekecewaanya atas aturan ini adalah atlet bola basket Muslimah Prancis Salimata Sylla. Helene Ba, seorang pemain bola basket lainnya, mengatakan kepada Amnesty bahwa larangan hijab di Olimpiade merupakan pelanggaran nyata terhadap piagam, nilai, dan ketentuan Olimpiade, serta pelanggaran terhadap hak-hak dasar dan kebebasan manusia. “Saya pikir ini akan menjadi momen yang memalukan bagi Prancis,” kata dia
Seorang wanita lain mengatakan kepada Amnesty bahwa aturan ini menyedihkan. “Memalukan berada di titik ini pada tahun 2024, menghalangi mimpi hanya karena selembar kain,” kata wanita itu.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah