al farabi
al farabi

Belajar “Memahamkan” Hakekat dari Al-Farabi

Abu Nashr Muhammad Al-Farabi (870-950 M) adalah sosok  bahasawan dan filsuf kenamaan. Perjalanan studinya cukup lengkap dimulai dari kota kelahirannya Farab (Turki) kemudian Irak, Suriah dan Mesir. Sebagai seorang guru filsafat, al-Farabi tumbuh di lingkungan yang sudah maju disebabkan filsafat “pindah” dari Athena (Yunani) dan Romawi ke Alexandria (Mesir) kemudian ke Anatolia (Turki) dan Baghdad (Irak) melalui gerakan terjemah karya-karya non-bahasa Arab ke bahasa Arab di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Dengan proses yang panjang ini, Al-Farabi mampu mengharmonikan agama dan filsafat, dan menulis lebih dari enam puluh kitab dengan bahasa yang mudah dan memahamkan. Menurutnya, filsafat adalah ilmu tentang segala yang ada sebagaimana adanya.

Al-Farabi menekankan keharusan seseorang memahami keberadaan sesuatu di luar pikiran, bukan di dalam pikiran. Konsekuensinya, istilah sebagai titik awal segala ilmu harus mencerminkan hakekat objektif-nya, terlebih objek “sesuatu” dalam filsafat. Dalam hal ini, seorang ilmuwan Sudan Prof. Zakariya Bashir Imam menilai al-Ghazali sebagai filsuf muslim yang paling “ceroboh” saat menggunakan istilah filsafat sehingga menyebabkan banyak peneliti gelisah, kebingungan, terganggu bahkan salah paham, berbeda dengan al-Kindi yang menjelaskan makna istilah terlebih dahulu,  bahkan membuatkan kamus filsafat yang pertama kali. Zakariya menyayangkan sikap al-Ghazali yang mengabaikan kaidah ilmiah; “tidak ada tashdiq (legitimasi) tanpa tashawur (konsepsi)”.

Jiwanya yang qona’ah membuat dirinya bisa fokus dengan riset, membaca dan menulis, disamping al-Farabi hidup zuhud dan tidak menikah. Filsafat benar-benar menjadi “pasangan pencemburu”  bagi al-Farabi. Selain pendidikan masa kecilnya yang dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah, pendidikannya di Baghdad membuatnya menjadi sosok pemikir besar dan berpengaruh di jagad keilmuan filsafat-tasawuf, sosial dan politik. Zakariya menyebut pengaruh tasawuf rasional al-Farabi tidak hanya menginspirasi Ibnu Sina, tetapi juga al-Ghazali meskipun al-Farabi selama hidupnya tidak pernah dituduh kafir atau zindiq kecuali oleh al-Ghazali melalui kitabnya “Tahafut al-Falasifah” (inkoherensi para filsuf).

Zakariya Bashir Imam menyebut karya al-Farabi banyak yang hilang (baca: tidak ditemukan) disamping al-Farabi tidak memiliki kecenderungan untuk menulis ensiklopedi sebagaimana penerusnya Ibnu Sina. Al-Farabi lebih suka tulisan pendek seperti makalah dan jurnal seperti dilakukan oleh pendahulunya al-Kindi. Meskipun berasal dari Turki, al-Farabi tidak menulis kecuali dengan bahasa Arab. Al-Farabi nampak seperti orang Arab asli lantaran penguasaan nalar dan budaya Arab.

Sebagai seorang bahasawan, Al-Farabi mampu berbicara dengan tujuh puluh bahasa. Disamping menguasai bahasa Arab dan Turki, juga pandai bahasa Ibrani, Suryani, Persia, India, Yunani dan Latin. Suatu ketika dirinya membuat takjub seorang Pendiri Keamiran Aleppo Saifud Daulah al-Hamdani dan dipersilahkan diskusi dengan para pakar Istana di pelbagai bidang ilmu.  Seorang Pangeran mendengar nasehat al-Farabi; “wahai Pangeran, bersabarlah. Sungguh setiap perkara dilihat ending-nya”.

Nasehat itu keluar ketika Pangeran al-Hamdani yang diberi gelar kehormatan “Pedang Dinasti”  berbicara dengan seorang budak tua yang menggunakan bahasa Asing, hampir tidak seorang pun memahaminya kecuali Pangeran. Pangeran memahami pesan si budak itu sebagai bentuk keburukan tata krama sehingga bermaksud akan membakar dirinya  jika seandainya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Pangeran. Selanjutnya, al-Farabi diberikan fasilitas oleh Pangeran  dengan anggaran negara sebesar empat dirham setiap hari. Namun dengan kezuhudan dan sifat qona’ah-nya, al-Farabi merasa cukup dengan jatah sebanyak empat dirham tersebut hingga dirinya wafat dan dimakamkan di Damaskus.

Dengan masa hidupnya selama delapan puluh tahun, dirinya menjelaskan dan mengomentari filsafat-filsafat Yunani dengan bahasa yang mudah dipahami, terutama buku Aristoteles berjudul  “Hakekat Metafisika”. Hal ini diakui oleh Ibnu Sina yang telah membaca buku tersebut lebih dari empat puluh kali namun belum juga paham hingga akhirnya membaca terjemahan yang ditulis oleh Al-Farabi berjudul “Tujuan-tujuan Metafisika” dan menemukan kejelasan makna yang sebelumnya tertutup rapat dan samar (ambigu).

Al-Farabi dan Ibnu Sina bersepakat bahwa kebahagiaan tidak akan diperoleh manusia kecuali dengan merenungkan hakekat-hakekat azali melalui akal aktif (baca: malaikat Jibril). Jiwa yang intelek menurut al-Farabi akan kekal sedangkan menurut muridnya Ibnu Sina bahwa “seluruh jiwa manusia itu kekal secara alami karena merupakan subtansi spiritual yang sederhana (tidak bisa dibagi-bagi)”. Keduanya juga bersepakat bahwa tidak ada kebangkitan bagi jasad manusia dan tidak ada perbedaan subtansial antara tasawuf al-Farabi dan tasawuf Ibnu Sina.

Al-Farabi dengan karakter open-minded, imjinasi yang jernih, ketelitian yang tinggi dan kecermatan kata yang dimiliki mampu mengungkapkan hakekat dengan bahasa atau cara penyampaian yang menarik. Dengan kelebihan logika, perenungan dan tasawuf  rasional, al-Farabi mampu memahami berbagai formulasi nalar yang ada pada akal aktif. Dr. al-Beer Nashri Nadhir seorang pakar filsafat Universitas Lebanon, dalam pengantar kitab; “Kitab Araa’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah” menyebut al-Farabi nampak  memposisikan tingkat intelektual filsuf lebih tinggi dari Nabi, sebagaimana seorang filsuf tidak mau mengambil makna dhahir dari wahyu karena makna dzhahir ini menyamarkan makna yang sebenarnya dan tugas akal adalah menyingkap hakekat tersembunyi dibalik kata-kata dan premis-premis.

Dengan prinsip ini, al-Farabi menjadikan filsafat pancaran Tuhan (bukan penciptaan dari ketiadaan) sebagai bahan terapan untuk membentuk komunitas manusia yang memegang landasan keadilan dan keutamaan. Ketika Nabi dan filsuf menemukan hekekat ini, maka keduanya bertanggung jawab untuk mendirikan dan mengelola kota (negara) ideal diatas pondasi-pondasi wahyu. Akal aktif merupakan penata sesungguhnya bagi dunia saat ini sebagaimana akal aktif merupakan harapan dan landasan bagi kebahagiaan manusia.

Al-Farabi dalam menyampaikan argumentasi dikenal tidak menggunakan sofistikasi yang njlimet, tetapi justru menggunakan  persepsi umum, common sense agar dipahami oleh semua kalangan. Selain itu, dirinya menggunakan pendekatan perlawanan, oposisi binner sebagaimana kaidah bahasa menyebut  “Dengan perlawanan segala sesuatu menjadi jelas”. Kemudian menggunakan tamstil atau perumpamaan sebagaimana al-Farabi mengumpamakan masyarakat ideal dengan tubuh manusia. Ini menegaskan efektivitas khayalan sebagai penghubung indra dengan akal. Dalam konteks sosial politik, al-Farabi menggunakan bahasa Sufi dan filsuf sekaligus sebagaimana dirinya terpengaruh oleh kedua sumber pemikiran; Syiah Ismailiyah dan Republika Plato.

Keahlian al-Farabi dalam memahamkan hakekat menunjukkan keahliannya dalam bahasa dan berbahasa. Hal ini dibuktikan dengan karya al-Farabi tentang bahasa seperti kitab “Huruf” dan “Kata yang Digunakan dalam Logika” dan kemampuannya berkomunikasi dengan ragam bahasa. Dalam hal pemikiran, Al-Farabi berupaya menyampaikan tesis-tesis logika dalam konteks bahasa Arab dan mendekatkan logika dimaksud kepada para ahli bahasa Arab.

Karya-karya al-Farabi dikenal kelebihannya dalam memahamkan makna yang abstrak. Ini merupakan nilai al-Farabi yang sebenarnya. Dengan ini al-Farabi dijuluki dengan “Guru Kedua” sebagaimana Aristoteles disebut “Guru Pertama”, bahkan Filsuf Muslim Terbesar secara mutlak. Sebagian ulama mengatakan bahwa, “saya tidak melihat Abu Nashr al-Farabi mengambil cara memahamkan makna yang kompleks dengan bahasa yang mudah dipahami kecuali dari gurunya Abu Basyar Matta Yunus seorang filsuf terkenal di masanya dan seorang guru besar logika dan filsafat Baghdad yang pandai memahamkan abstraksi pemikiran dengan cara penyampaian yang mudah dipahami serta isyarat yang mudah ditangkap”. A-Farabi memegang prinsip tentang manusia; “kecenderungan kepada yang mudah” serta pra-konsepsi sebuah komunitas; “kesamaan persepsi komunitas” dan  tujuan akhir bahasa itu sendiri yaitu “memahamkan” bukan yang lain.

Kemampuan al-Farabi dalam “memahamkan” pemikiran Aristoteles ke orang lain sebanding dengan ketekunan dan keseriusannya dalam “memahami”. Hobinya berkontemplasi (merenung) membuat dirinya tidak pernah bosan membaca karya Aristoteles berulang kali hingga benar-benar memahami sehingga mudah untuk memahamkan kepada orang lain. Sebuah riwayat menyebut kitab Aristoteles berjudul “Jiwa” yang ditulis dengan tulisan tangan al-Farabi di halaman sampulnya tertulis; “sungguh saya membaca kitab ini sebanyak seratus kali”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-Farabi berkata: “Saya berulang-ulang membaca as-Sama’ at-Tabi’i karya Aristoteles hingga empat puluh kali dan saya menilai diriku masih butuh mengulanginya”.

Di sisi lain, al-Farabi sangat yakin dengan ketajaman pikirannya hingga mengaku; “Seandainya saya hidup di zaman Aristoteles, pastilah saya murid yang paling senior”. Namun demikian, al-Farabi dan Ibnu Sina dituduh kafir dan zindiq oleh al-Ghazali karena menyatakan qodim-nya alam, keterbatasan ilmu Allah hanya pada perkara universal tidak partikular dan mengingkari kebangkitan jasmani. Ada sisi yang perlu diambil manfaatnya dari sosok guru yang istiqomah; al-Farabi, tentunya kehebatan dan keberaniannya dalam memahamkan “hakekat” kepada masyarakatnya dan dunia melalui karya.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …