alquran 130702103109 621

Benarkah Harus Membaca Ta’awudz Sebelum Membaca al-Qur’an?

Pada umumnya sebagai umat muslim sebelum membaca al-Qur’an pasti membaca ta’awudz. Akan tetapi, apakah memang wajib untuk melaksanakannya?

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (an-Nahl: 98)

Ayat ini masih dianggap sebagai acuan setiap akan membaca al-Qur’an harus membaca ta’awudz. Padahal, ayat di atas pada dasarnya hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad dan kita sebagai umat hanya meniru atau mengikuti. Oleh karena itu, untuk bisa memahami konteks turunnya ayat tersebut diperlukan pengaitan dengan ayat-ayat lain. Dan untuk menangkap maksudnya harus mengetahui sosio-historisnya.

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. (al-A’raf: 200)

Maksud dari ayat di atas sama dengan an-Nahl ayat 98. Ta’awuz bukan menjadi hukum atau kewajiban ketika akan membaca al-Qur’an. Kemudian, di ayat selanjutnya dijelaskan bahwa turunnya ayat ini sebagai penghibur Nabi Muhammad ketika mendapatkan wahyu dari Allah.

إِنَّهُۥ لَيْسَ لَهُۥ سُلْطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (٩٩) إِنَّمَا سُلْطَٰنُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُۥ وَٱلَّذِينَ هُم بِهِۦ مُشْرِكُونَ (١٠٠)

Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (99) Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (100) (an-Nahl)

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (١٦) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨)

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (17) Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (18) (al-Haqqah)

Ayat tersebut turun karena pada waktu itu Muhammad tidak segera mendapatkan wahyu dari Allah dan setan menggoda Muhammad supaya asal bicara. Kemudian ayat ini turun dan Jibril meminta untuk Muhammad tetap menunggu wahyu dari Allah.

Dalam hal ini, persepsi masyarakat terhadap Nabi Muhammad yang dianggap majnun ketika mendapatkan wahyu dari Allah berkaitan dengan pandangan mereka terhadap para penyair yang menunjukkan keindahan karyanya. Para penyair Arab Jahili memang cerdas luar biasa saat itu. Saking cerdasnya mereka, sampai disebut majnun, kerasukan jin. Sebenarnya kata majnun itu bukan orang gila seperti yang ada di dalam terjemahan al-Qur’an saat ini. Majnun berhubungan erat dengan pandangan tentang individu yang dianggap memiliki kecerdasan linguistik verbal tinggi atau disebut sebagai penyair (al-syu’ara’).

Penyair dalam pandangan masyarakat Arab pra-Islam adalah individu yang memiliki khadam atau pembantu yang diyakini berasal dari golongan jin. Masyarakat percaya selain memberikan inspirasi untuk menghasilkan kalimat-kalimat indah, jin juga memiliki kemampuan untuk meramal masa depan. Karena alasan ini, penyair dianggap sebagai dukun yang sering diminta untuk memberikan pertimbangan dalam menentukan langkah yang berkaitan dengan masa depan, termasuk dalam konteks perang dan perdamaian.

Oleh sebab itu, Muhammad dianggap kerasukan jin karena i’jaz atau kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek kebahasaan yang tidak tertandingi 14 abad setelah diturunkan. Bukan hanya rimanya yang membuat setiap pendengarnya, bahkan yang tidak mengerti artinya sekalipun, terpengaruh. Keteraturan ritmisnya benar-benar menghadirkan nuansa yang sangat menyentuh rasa.

Kejelasan untuk menguatkan hal ini sesuai dengan ayat yang menyatakan kepada siapa setan itu turun.

تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ(٢٢٢)  يُلْقُونَ ٱلسَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَٰذِبُونَ (٢٢٣)

وَالشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ الۡغَاوٗنَؕ (٢٢٤) أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ (٢٢٥)

Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, (222) mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. (223) Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (224) Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, (225) (al-syu’ara’)

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad

Al-Qur’an menjadi mu’jizat sampai akhir zaman yang memiliki berbagai kelebihan yang membuatnya menjadi sangat unik. Firman Allah ini hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad. Di dalam al-Haqqah: 40-42 dijelaskan juga secara historis kepada siapa al-Qur’an ini diturunkan.

إِنَّهُۥ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (٤٠) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تُؤْمِنُونَ (٤١) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ (٤٢)

Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, (40) dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (41) Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. (42) (al-Haqqah)

Sebagai penguat kalau an-Nahl ini bukan sebagai ayat hukum, melainkan ayat sosio-historis juga dijelaskan dengan jelas di beberapa ayat yang lain. Selain itu, dijadikan sebagai alat spiritual untuk membangun hukum secara generalis.

Al-Qur’an bukan perkataan syaitan

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَٰنٍ رَّجِيمٍ (٢٥) فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ (٢٦)

Dan Al Quran itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk, (25) maka ke manakah kamu akan pergi? (26) (at-Takwir)

Pesan sosio-historis dalam ayat-ayat di atas tidak bisa menjadi interpretasi dalam konteks hukum. Untuk ayat yang menjelaskan tentang hukum atau fiqih tentu ada sendiri penjelasan dan contohnya. Oleh sebab itu, kita harus memahami betul apa yang dimaksud dalam al-Qur’an. Apabila terjemahan salah, akan menyebabkan pemahaman yang didapat juga salah dan dampaknya akan berkelanjutan sehingga dapat bertentangan dengan ajaran.

Ada dua perspektif yang digunakan untuk mengambil pelajaran atau pesan dari ayat-ayat tersebut. Pertama dengan cara al-ibrah bi khususi al-sababi, yaitu memahami bahwa ayat ini hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad sehingga ketika akan membaca al-Qur’an tidak perlu membaca ta’awudz. Kedua dengan al-ibrah bi umumi al-lafdhi, sebelum membaca al-Qur’an dengan membaca taawudz terlebih dahulu.

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir Jilid 12 menyatakan bahwa mayoritas ulama sepakat membaca ta’awudz sebelum membaca al-Qur’an adalah tindakan yang dianjurkan (sunah). Pendapat yang serupa disampaikan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya, beliau menunjukkan bahwa perintah dalam surat an-Nahl ayat 98 menekankan hal yang dianjurkan (sunah), bukan diwajibkan. Imam Ibnu Katsir, Imam Qurthubi, dan Imam Baghawi juga setuju dengan pendapat Imam Thobari dan mengaitkannya dengan mayoritas ulama.

Wallahu a’lam bi al-shaawab

Bagikan Artikel ini:

About Dewi Khofifah

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, Mahasantri Monashmuda Institute, Alumni PonPes Al Makmun Kedung, Jepara

Check Also

sabar

Ini Keutamaan Sabar di dalam al-Qur’an

Setiap orang pasti pernah mengalami musibah atau cobaan dalam hidupnya. Jika telah mengalami hal demikian, …

lalai

Makna Lalai yang Sebenarnya dalam al-Qur’an

Kata lalai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kurang hati-hati. Arti lainnya dari lalai adalah …