Beredar di media sosial ceramah Salim Yahya Qibas yang dengan entengnya ia menyebut Imam Syafi’i anti tasawuf. Berikut ini pernyataannya:
“Kata Imam Syafi’i apa, aku dapati pada ajaran tasawuf, melainkan campuran ajaran agama Yahudi, Nasrani dan Paganis. Dan, siapa yang belajar tasawuf di pagi hari siangnya pasti jadi orang dungu”.
Apa benar pernyataan Salim Yahaya Qibas di atas? Tentu, harus menelusuri dulu sumber otoritatif untuk menegaskan, apakah benar Imam Syafi’i mengatakan demikian, atau Salim Yahya Qibas yang kurang jeli atau tidak paham sama sekali?
Namun, sebelum memverifikasi pernyataan tersebut, alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu tasawuf.
Definisi Syariat dan Tasawuf
Ahmad Zuruq Al Fasi dalam Qawa’idut Tasawwuf (hlm. 25), menjelaskan, tasawuf adalah ilmu yang tujuannya adalah untuk memperbaiki dan menyendirikan hati hanya untuk Allah, tidak selain-Nya.
Sayyid Murtadha az Zabidi dalam Ithafus Sadatil Muttaqin (VIII/477), beliau mengatakan, konsen tasawuf adalah dalam urusan hati, cara menyucikannya, menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yang tidak jelas dan yang jelas. Itulah pondasi awal tasawuf.
Sedangkan Syariat sebagaimana termaktub dalam Kifayatul at Qiya wa Minhajul Asyfiya, adalah semua perintah Allah yang harus dikerjakan dan larangan-larangan-Nya yang harus ditinggalkan.
Dari penjelasan tentang tasawuf dan syariat tersebut dapat dipahami kalau keduanya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Imam Malik, pendiri Madzhab Maliki, mengatakan, siapa yang berfiqih tanpa bertasawuf, maka fasik. Siapa yang bertasawuf tanpa berfiqih, ia zindiq. Dan, siapa yang mengamalkan keduanya, maka dialah ahli hakikat sebenarnya.
Jika demikian, apa benar Imam Syafi’i menolak atau bahkan menentang tasawuf seperti dikatakan Salim Yahya Qibas?
Pandangan Imam Syafi’i Terhadap Tasawuf
Syaikh Syarif Muhammad Fadhil Al Jailani, cucu Syaikh Abdul Qodir Al Jailani, tegas mengatakan bahwa semua imam madhab bertasawuf dengan tarekat yang hakiki.
Dari pernyataan cucu Sulthanul Aulia (raja para wali) Syaikh Abdul Qodir Al Jailani ini, jelas sosok Imam Syafi’i tidak anti tasawuf sebab memang tidak ada pertentangan antara fikih dan tasawuf, bahkan keduanya saling menyempurnakan.
Harus dipahami, bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Sayyidah Nafisah, ulama perempuan ahli fikih sekaligus seorang sufi. Secara otomatis selain belajar fikih Imam Syafi’i belajar ilmu tasawuf dari Sayyidah Nafisah.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Imam Baihaqi as Syafi’i dalam kitabnya Manaqib al Imam as Syafi’i, beliau menulis, Imam Syafi’i memang pernah melontarkan penilaian negatif terhadap para sufi, namun penilaian tersebut objeknya bukan pada ilmu atau ajaran tasawuf.
Penilaian negatif Imam Syafi’i terhadap para sufi dialamatkan pada mereka yang mengaku sufi tetapi pemalas dan banyak menggantungkan hidupnya pada orang lain, banyak makan, memiliki sifat pesimis, dan banyak melakukan aktifitas yang tidak bermanfaat. Sementara terhadap mereka yang menjalankan ajaran tasawuf sebagaimana mestinya; memiliki sifat kepasrahan kepada Allah secara benar, dan memiliki akhlak dan perilaku syariat yang baik, hubungannya dengan Allah dan sesama manusia juga baik, justru Imam Syafi’i banyak mengambil pelajaran dari mereka.
Masih dalam kitab yang sama, bahkan Imam Syafi’i memuji kalangan sufi. Beliau berteman dengan para sufi selama sepuluh tahun. Ada dua poin pelajaran penting dalam kebersamaan itu, yakni para sufi sangat menghargai waktu atau tidak menyia-nyiakannya dan mereka selalu menyibukkan diri dalam kebaikan.
Hal senada disampaikan oleh Imam Sya’rani dalam kitabnya Al Anwar Al Qudsiyyah di Bayani Qawa’idut Al Sufiyyah (hlm. 141), beliau menulis:
قال الامام الشافعي رضي الله عنه
استفدت منهم شيئين قولهم الوقت سيف إن لم تقطعه قطعك وقولهم إن لم تشغل نفسك بالخير شغلتك بالشر
“Imam Syafi’i berkata: Aku mendapat dua pelajaran berharga dari dua ungkapan mereka (kaum sufi). Pertama, waktu bagai sebilah pedang, jika kamu tidak cakap menggunakannya maka ia yang akan mencelakaimu. Kedua, jika kamu tidak menyibukkan diri dengan kebaikan, maka engkau akan terjerumus dalam keburukan”.
Kesimpulan
Tidak benar apa yang disampaikan Salim Yahya Qibas bahwa Imam Syafi’i anti tasawuf. Kesalahan seperti ini sejatinya tidak pernah dilakukan oleh mereka yang mendaku diri sebagai ustadz dan mubaligh. Selain memberikan informasi yang keliru, akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap konstruksi sosial masyarakat muslim yang selama ini tidak pernah menyalahkan kelompok sufi atau mereka yang menjalankan tarekat.
Apabila dibiarkan, bisa memicu konflik di internal umat Islam antara penganut syariat dan tarekat. Sebab salah satu akan saling klaim kebenaran, dan pada akhirnya akan saling tuding kesalahan. Lebih lanjut, akan memicu terjadinya pembelahan antara ilmu syariat dan tasawuf yang sejatinya saling melengkapi, justru akan dikotak-kotak seolah-olah saling bertentangan.
Karenanya, akan sangat baik jika para mubaligh atau mereka yang mengaku ustadz seperti Salim Yahya Qibas untuk belajar lebih dahulu sebelum menyampaikan statement yang berhubungan dengan ajaran agama. Sebab, semakin kaya referensi semakin sedikit kemungkinan berbuat kesalahan, terutama kesalahan yang sangat fatal dan menyesatkan umat.