ulama penguasa
ulama penguasa

Benarkah Ulama yang Dekat Penguasa Ulama Su’u?

Pada era Khulafaur Rasyidin, pemimpin, penguasa, Khalifah, atau apapun sebutan untuk kekuasaan, ditampilkan dengan mengutamakan nilai-nilai agama. Pemimpin adalah pengayom dan kepentingan rakyat menjadi tujuan pertama. Hampir pasti tidak ada penguasa masa itu yang kaya oleh sebab ia menjadi penguasa. Tradisi penguasa seperti ini selain Khalifah yang empat juga bisa menyebut salah seorang pemimpin yang sangat adil semisal Umar bin Abdul Aziz.

Tetapi setelah itu, sampai saat ini, kekuasaan identik dengan sikut kanan sikut kiri. Menelikung atau ditelikung. Sebuah ruang pengap penuh dengan tipu daya dan muslihat. Medan siasat yang hanya berorientasi pada soal duniawi belaka. Apapun, halal ataupun haram, menyakiti atau mendzalimi, akan ditempuh demi hajat berkuasa.

Membaca uraian di atas, kekuasaan ibarat mata pisau. Bisa untuk melukai dan membunuh orang dan bisa pula untuk kepentingan yang membawa maslahat, seperti penggunaannya untuk kepentingan dapur. Oleh karena itu, sejatinya kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Tergantung siapa yang menjalankan amanah tersebut. Bisa baik dan sebaliknya.

Nah, bagaimana kalau ada ulama yang terlibat dalam pusaran kekuasaan? Entah ia sebagai pemegang tampuk kekuasaan atau pejabat pemerintahan atau ulama yang dekat dengan penguasa. Bukankah ulama hanya mengurusi urusan akhirat dan agama?

Nabi sendiri pun telah mewanti-wanti bahwa ulama adalah kepercayaan dan penerus estafet perjuangan Nabi selama mereka tidak bergaul dengan penguasa. Dan, bila ada ulama yang bergaul dengan penguasa berarti telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya?

Rasulullah bersabda, “Para ulama adalah kepercayaan para rasul atas para hamba Allah selama mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Tetapi jika mereka bergaul dan berbuat demikian, maka sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul dan para hamba Allah, maka takutlah dan hindari mereka”. (HR. Dialami)

Hadis ini, menegaskan bahwa ulama dilarang keras terlibat dalam pusaran kekuasaan. Ini menjadi semacam kode etiknya ulama. Bila melanggar maka identitas sebagai ulama lepas. Bukan ulama lagi.

Tapi saat ini, ulama banyak yang terlibat dalam pemerintahan dan kekuasaan. Sehingga bila didasarkan kepada hadis di atas tentu merupakan tindakan yang melanggar norma agama dan membangkang pada perintah Nabi. Dengan kata lain, mereka tergolong ulama su’ (jelek) karena berkhianat kepada Nabi.

Menyikapi Hadits Ulama dalam Pusaran Kekuasaan

Muhammad Babashil dalam karyanya Is’ad al Rafiq mencoba mengurai fenomena ini dengan sangat hati-hati. Tulisnya, seseorang tidak boleh terlalu sering menemui atau menghadap penguasa kecuali bila ada hajat atau kebutuhan, darurat atau maslahah agama yang lebih besar dari mafsadahnya. Hal itupun bila niatnya baik. Bila konteksnya seperti ini maka tidak jadi masalah. Seperti telah dilakukan oleh Al Zuhri, Imam Syafi’i dan para ulama yang lain. Sebab apa yang mereka lakukan arahnya bukan untuk kepentingan duniawi.

Penjelasan ini bila dilihat sekilas bertentangan dengan hadis di atas. Namun bila ditelusuri lebih lanjut secara esensi sama sekali tidak berbeda. Penekanan hadis di atas sama dengan yang disampaikan oleh Muhammad Babashil, yakni para ulama dilarang untuk terlibat atau bergaul dengan penguasa apabila tujuannya semata untuk kepentingan duniawi saja. Sedangkan bila ada maslahah agama yang hendak dicapai dan bukan karena dorongan nafsu duniawi, maka tidak ada larangan bagi ulama untuk menjadi penguasa atau terlibat dalam pusaran arus kekuasaan.

Apakah alur berpikir seperti ini meniadakan dan membangkang terhadap hadis di atas?. Walaupun para ulama hadis menilai sebagian perawi hadis tersebut bermasalah, namun tentu harus menangkap spiritnya sebagai alarm bahaya hati-hati dengan kekuasaan. Akan tetapi, bila maslahahnya lebih besar dari mafsadahnya, tentu no problem ulama menjadi penguasa atau dekat dengan penguasa.

Sebab itu, jangan keburu berburuk sangka kepada para tokoh agama, kyai, ustad maupun para ulama yang dekat atau menjadi pemegang tampuk kekuasaan. Tidak serta merta mereka tergolong ulama su’. Tentu ada maslahah agama yang menjadi tujuan utama mereka.

Selain itu juga, tentu para Khulafaur Rasyidin tidak akan berkenan menjadi penguasa penerus Nabi kala itu jika memang Rasulullah melarang dengan mutlak bahwa seorang ulama dilarang terlibat dalam kekuasaan. Jadi, hukum haram dan tidaknya ulama terlibat dalam kekuasaan seluruhnya ditentukan oleh niat dan maslahah yang lebih besar dari mafsadahnya.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …