Sudah maklum, setiap daerah memiliki tradisi tersendiri yang berbeda-beda dengan daerah lainnya. Begitu juga di salah satu daerah di Jawa Timur ketika memandikan jenazah. Lumrahnya, orang yang memandikan jenazah merupakan satu jenis dengan jenazah yang dimandikannya. Berbeda dengan daerah tersebut, jika jenazah yang akan dimandikan laki-laki maka yang memandikan perempuan, begitu juga sebaliknya. Ironisnya, yang memandikan itu bukan mahram dari jenazah tersebut.
Apakah boleh yang demikian menurut Fiqh ?
Salah satu kewajiban bagi orang hidup terhadap orang yang sudah mati yaitu memandikannya. Akan tetapi dalam memandikan orang yang sudah mati tidak sembarang begitu saja, ada aturan-aturan yang harus diperhatikan.
Terkait dengan apakah laki-laki boleh memandikan jenazah perempuan atau sebaliknya, maka dalam madzhab Syafi’i hukumnya haram. Di dalam kitab At Tanbih, Syaikh As Syirazi menjelaskan:
وَإِنْ مَاتَ رَجُلٌ وَلَيْسَ هُنَاكَ إِلَّا امْرَأَةٌ أَجْنَبِيَّةٌ، أَوْ مَاتَتْ اِمْرَأَةٌ وَلَيْسَ هُنَاكَ إِلَّا رَجَلٌ أَجْنَبِيٌّ يُمَّمَا
Artinya: “Jika terdapat laki-laki mati dan tidak ada seorang pun kecuali perempuan lain (bukan mahram dan istri), atau perempuan mati dan tidak ada orang lain selain laki-laki, maka jenazah tersebut ditayammumi (tidak dimandikan)”
Mengapa demikian ?
Hal ini tidak lepas dari hukum melihat dan menyentuh lawan jenis. Ulama’ sepakat melihat lawan jenis yang bukan mahramnya hukumnya haram. Keharaman ini ternyata bukan hanya berlaku di saat hidup, tetapi juga ketika sudah mati.
Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah dijelaskan:
ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ حُكْمَ نَظَرِ الرَّجُل إِلَى الْمَرْأَةِ بَعْدَ مَوْتِهَا كَحُكْمِهِ فِي حَيَاتِهَا ، فَلاَ يَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى غَيْرِ مَا كَانَ يَحِل لَهُ النَّظَرُ إِلَيْهِ حَال الْحَيَاةِ ، إِلاَّ إِذَا وُجِدَتْ ضَرُورَةٌ تَقْتَضِي ذَلِكَ ، لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ تَرْتَفِعُ بِهِ الْحُرْمَةُ ، بَل تَتَأَكَّدُ ، وَلأَِنَّ هَذِهِ الْحُرْمَةَ لِحَقِّ الشَّرْعِ ، وَالآْدَمِيُّ مُحْتَرَمٌ شَرْعًا حَيًّا وَمَيِّتًا.
Artinya: “Ulama’ Fiqh berpendapat bahwa hukum laki-laki melihat perempuan setelah mati sama hukumnya ketika masih hidup. Maka tidak boleh bagi laki-laki melihat bagian anggota tubuh yang tidak halal baginya ketika saat hidup. Kecuali ada dhorurat yang menghendakinya. Karena kematian tidak menghilangkan kehormatan mayyit, tetapi tetap selamanya. Karena kehormatan ini adalah hak Syariat Islam, sementara anak Adam (manusia) dimulyakan oleh Syariat Islam, baik masa hidupnya juga matinya”
Jika melihat saja hukumnya haram, apalagi menyentuhnya, maka tentu lebih haram lagi. Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab-kitab Syafi’iyah, seperti al Iqna’:
مَتَى حَرُمَ النَّظَرُ حَرُمَ اللَّمْسُ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ مِنْهُ فِي اللَّذَّةِ وَإِثَارَةِ الشَّهْوَةِ
Artinya: “Manakala haram melihatnya, maka haram menyentuhnya, karena menyentuh lebih memperoleh kenikmatan dan pengaruh syahwat dibanding melihat”
Sebab itu, maka laki-laki tidak boleh memandikan jenazah perempuan, sebab dalam memandikan sulit tidak melihat dan menyentuh.
Namun demikian, hukum memandikan laki-laki kepada jenazah perempuan atau sebaliknya hukumnya haram jika bukan status suami istri atau mahram. Jika berstatus suami istri maka boleh memandikannya satu sama lainnya. Bahkan suami lebih berhak memandikannya dibanding mahramnya. Sebab suami boleh melihat seluruh tubuh istri ketika masih hidup, begitu juga sebaliknya. Tetapi mahram tidak bisa melihat seluruh tubuh dari perempuan, atau laki. Imam Mawardi berkata:
وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ أي المرأة فمن يتولى غسلها فَعَلَى وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا : أَنَّ الْعَصَبَةَ مِنْ ذَوِي مَحَارِمِهَا أَوْلَى بِغَسْلِهَا مِنَ الزَّوْجِ لِأَنَّهُمْ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا . وَالْوَجْهُ الثَّانِي : وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ قَالَ : إِنَّ الزَّوْجَ أَحَقُّ بِغَسْلِهَا وَإِنْ كَانَ عَصَبَتُهَا أَحَقَّ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهَا ؛ لِأَنَّ لِلزَّوْجِ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا لَيْسَ لِلْعَصَبَاتِ النَّظَرُ إِلَيْهِ
Artinya: “Jika mayit perempuan tersebut sudah bersuami, lalu siapakah yang paling utama memandikannya. Maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, yang berhak adalah mahram yang mendapatkan ashabah yang paling utama dalam memandikannya dibanding suami. Karena mereka yang lebih utama menshalatinya. Pendapat kedua, dan ini pendapat yang paling ashah, yaitu sesungguhnya suami paling berhak memandikannya sekalipun mahram ashabah paling berhak menshalatinya. Kaena apa yang boleh dilihat oleh suati belum tentu boleh dilihat oleh mahram ashabah”
Dengan demikian, boleh dan tidaknya dalam memandikan jenazah laki-laki atau perempuan karena alasan keharaman dan kehalalan dilihat pada saat hidupnya. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kehormatan manusia tidak putus sebab matinya manusia tersebut. Tetap terjaga hingga ia mati. Masalah boleh dan tidak dalam melihat atau menyentuh antar anak Adam merupakan persoalan kemuliaan manusia.