Jakarta – Pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi terkait radikalisme memanfaatkan figur ‘good looking’ untuk menyebarkan pahamnya, masih menimbulkan pro kontra. Setelah gempuran yang kontra ‘menghantam’ pernyataan Menag, kini giliran pernyataan pro yang mendukung pernyataan tersebut.
Pengamat politik Boni Hargens menganggap tak ada yang salah dengan pernyataan Menag bahwa kelompok radikal menggunakan sosok ‘good looking’ untuk menguasai dan menyebarkan radikalisme di lingkungan masjid. Ia justru menilai masyarakat aneh dalam menanggapi pernyataan tersebut.
“Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini malah menyakralkan bendera hitam putih bertuliskan ‘La Ilaha Illa Allah’ yang identik dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal negara-negara Timur Tengah saja sudah melarang penggunaan bendera Tauhid yang disebut Liwa dan Rayah tersebut,” ujar Boni dikutip dari laman PikiranRakyat-Cirebon.com dalam artikel “Heran Bendera HTI Sakral di Indonesia, Boni Hargens: Habib Rizieq pun Ditangkap Kepolisian Arab”.
“Di Arab Saudi dan banyak negara Timur Tengah, bendera khilafah yang oleh orang Indonesia kerap diidentikkan dengan bendera HTI, dianggap sebagai bendera teroris, sehingga dilarang untuk dikibarkan,” ungkap Boni Hargens.
Menurutnya hal itulah yang membuat Habib Rizieq sempat ditangkap dan diperiksa kepolisian di sana (Arab Saudi) saat ditemukan adanya bendera itu di dinding rumah kontrakannya beberapa waktu lalu.
Hanya saja, keanehan terjadi di Indonesia yang sebagian masyarakatnya lebih senang melihat bendera HTI yang dianggap sakral daripada bendera kebangsaan Merah Putih. Tak tanggung-tanggung, mereka pun menolak menghormati bendera nasional, kecuali bendera HTI yang mereka cium dengan bebas.
“Itu saya temukan di lapangan sebelum Pilpres 2019 kemarin,” ucapnya.
Dengan demikian, kebangkitan politik identitas yang merebak saat ini, seharusnya sudah diketahui akan mengarah pada gerakan politisasi agama dengan balutan demokrasi.
“Saya ingin mengatakan bahwa kebangkitan politik identitas di kekinian Indonesia sudah mengarah pada gerakan politisasi agama, bukan pada upaya memperjuangan identitas kelompok dengan memakai perangkat demokrasi,” papar Boni.
Ia menilai kelompok ini yang memang sudah tepat diwaspadai Menag Fachrul karena mereka ingin mengubah sistem negara yang dianggap bodoh, sekaligus menjadi ancaman nyata buat keutuhan NKRI di masa mendatang.
Mereka yang kita sebut kelompok radikal, kata Boni, mempunyai cita-cita ingin mengubah sistem negara karena mereka melihat demokrasi sebagai sistem thogut.
“Ini jelas ancaman yang nyata dan serius terhadap keberlangsungan demokrasi, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan keutuhan NKRI ke depan,” tegas dia.
Untuk itu, kajian yang komprehensif dan penguatan kebijakan perlu digalakkan oleh negara termasuk upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus diperkuat dengan adanya kebijakan lain di bidang sosial, politik, dan ekonomi.