Semarang – Dalam beberapa pekan terakhir ini kita disuguhi pertunjukan demonstrasi dan kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Aksi massa yang dilatarbelakangi oleh pengesahan UU Cipta Kerja ini bahkan ditunggai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang akhirnya memicu pecahnya aksi kekerasan. Bentrok para demonstran dengan aparat keamanan pun tak terhindarkan, bahkan sejumlah fasilitas umum menjadi sasaran amuk massa.
Budayawan Ngatawi Al Zastrouw menilai demonstrasi yang seharusnya menjadi media penyampai aspirasi justru memproduksi ketakutan dan kecemasan masyarakat. Menurutnya, saluran aspirasi harus memperhitungkan subtansi tujuan dan efektifitas cara mencapai tujuan. Karena jika tidak, penyaluran aspirasi ini malah bisa dimanfaatkan kelompok tertentu dengan narasi-narasi yang meradikalisasi menuju anarkisme untuk membuat suasana menjadi chaos dan konflik.
“Penting bagi masyarakat membangun aliansi anti narasi radikal dan anti tindakan anarkisme. Masyarakat harus terus memperkuat diri dengan cara menggali, mengeksplorasi suatu nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan oleh para leluhur bangsa ini dahulu,” kata Ngatawi di Semarang, Sabtu (17/10/2020).
Menurutnya, pada dasarnya watak dari konstruksi budaya tradisi Nusantara itu adalah tradisi integratif dan harmoni. Hal inilah yang membuat bangsa Indonesia bisa bertahan sampai sekarang ini.
“Nah dari harmoni dan integrasi inilah yang sebetulnya bisa menyebabkan resiliensi, daya lenting, daya suspensif dari masyarakat kita agar terhindar dari narasi-narasi radikal,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Ngatawi, masyarakat juga harus ikut berperan aktif membuat kontra narasi terhadap narasi-narasi radikalisme ataupun narasi intoleransi. Untuk itu masyarakat harus memperkuat khazanah dan contoh-contohnya, baik perspektif yang hidup dalam tradisi, maupun dalam sistem nilai yang berkembang di masyarakat.
“Yang mana hal itu nantinya untuk kita aktualisasikan sebagai recources atau sumber untuk kita ramu, kita bangun dan kita konstruksi. Sehingga nantinya akan dapat menjadi narasi narasi yang bisa mengcounter terhadap gerakan radikalisme dan terorisme itu,” ujar dosen pasca sarjana Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini
Selama ini, ia menilai penyebab suburnya narasi radikal dan tindakan anarkis ini dikarenakan kelompok-kelompok yang suka menyebarkan narasi radikal dan tindakan anarkis ini sudah menguasai ruang media.
“Ini dikarenalan ruang media itu tidak ada yang bisa mengontrol, sehingga mereka ini sangat produktif dalam memproduksi narasi radikal tersebut. Akhirnya seolah-olah menjadi subur. Karena hampir setiap hari dia (kelompok radikal) mengisi ruang itu,” ungkapnya.
Ia mencontohkan apa yang menjadi pemikiran-pemikiran posiitif para ulama seperti KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Bahauddin Nursalim Gus Baha’ ataupun Habib Syech Abdul Qodir Assegaf dan ulama moderat lainnya. Tetapi sayangnya pemikiran positif itu tidak di mainstreaming-kan melalui media sosial, sehingga seolah-olah menjadi tidak subur.
“Maka dari itu kita harus mengimbangi gerak mereka dengan mengupload atau memposting dan mempublikasikan dari narasi-narasi positif ini ke publik atau ranah public melalui media social dan media lainnya. Karena selama ini saya lihat masih kurang dipublikasikan. Padahal orang-orang yang memiliki pemikiran positif itu sejatinya lebih banyak dibanding orang-orang dari kelompok-kelompok itu,” kata mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU ini.