Jakarta – Bulan Syawal adalah kesempatan umat Islam menjadi hamba-hamba Allah yang ahli zikir. Syawal sendiri memiliki arti bulan peningkatan termasuk peningkatan amal setelah sebulan sebelumnya ditempa dengan puasa Ramadhan dan aneka ibadah yang lainnya.
“Syawal itu bulan peningkatan. Harus meningkat, jangan kayak kemarin,” kata Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar saat mengisi kajian rutin Syarah Al-Hikam disiarkan melalui youtube Multimedia KH Miftachul Akhyar, dikutip dari NU Online, Senin (29/4/2024).
KH Miftachul Akhyar menambahkan bahwa di bulan Syawal seyogyanya memang menjadi kesempatan terbaik umat Islam untuk lebih meningkatkan kualitas ketakwaannya kepada Allah dengan memperbanyak zikir. Lebih-lebih Muslim pada umumnya kerap disebut telah kembali ke fitrah atau kembali suci setelah mendapat ampunan Allah di bulan Ramadhan.
“Ini pas sekali pada saat ini, bulan Syawal, di saat kita disebut sudah kembali kepada fitrahnya,” jelas pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya ini.
Menurutnya, ahli zikir adalah orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan zikir kepada Allah. Menuju ke tahap itu harus terus melatih diri dengan semangat, hingga di kemudian hari mencapai derajat ahli zikir.
“Kalau orang zikir itu kan hatinya itu Allah saja. Kalau sudah begitu, tangan kita, mata kita, telinga kita, semua anggota tubuh kita mengarah kepada Allah,” ungkapnya.
Kiai Miftach menegaskan, menjadi ahli zikir tentu tidak semata beribadah dengan cara berzikir saja, kemudian meninggalkan ibadah-ibadah yang sifatnya wajib.
“Hal hal yang wajib kita tuntaskan, yang sunnah kita lakukan terus sehingga mencapai sebuah terminal yang di situ kita menemukan halawatudz dzikri atau halawatul imam, manisnya zikir atau manisnya iman. Yang mana saat itu semua gerakan kita itu sudah mengarah kepada Allah semua,” tuturnya.
Bahkan, lanjut Kiai Miftach, dalam hadits qudsi ditegaskan bahwa orang yang demikian itu benar-benar dicintai Allah. Kalau meminta atau berdoa, tanpa diucapkan, Allah mengabulkannya.
“Dikatakan, sungguh manakala dia minta, mintanya tidak harus diucapkan, krentek saja, Allah kan maha tahu,” terang Kiai Miftach.
Ia menjelaskan bahwa Allah memang jadi pusat segala permohonan manusia. Namun, menurut Kiai Miftach, bila seringkali permintaan tersebut diucapkan tentu ada perasaan malu. “Sebenarnya kita kan malu minta-minta kepada Allah, apa yang menjadi kehendak kita Allah sudah tahu. Tanpa kita mengucapkan. Adapun kita mengucapkan itu sebagai tanda bahwa kita selalu butuh kepada Allah,” pungkasnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah