Dilansir dari laman republika.co.id Sambutan meriah itu menjadi isyarat sederhana bahwa kerukunan di Pabuaran bukan sekadar jargon, melainkan napas kehidupan yang nyata.
Suasana semakin semarak saat warga menampilkan tradisi Palang Pintu khas Betawi. Pantun-pantun jenaka dan iringan rebana mengalun, disusul dua pendekar silat yang memperagakan jurus persahabatan dan menutupnya dengan jabat tangan penuh hormat.
Para tamu dari Austria, Australia, dan sejumlah negara lain tampak terpukau. Simbol persahabatan itu seolah menyampaikan pesan universal: harmoni bisa dijaga lewat budaya, bukan hanya kata-kata.
Tak berhenti di situ, pertunjukan barongsai dan liong ikut memeriahkan suasana. Dentuman tambur menggema di antara rumah-rumah warga. Di desa ini, budaya Tionghoa bukan sekadar tamu, melainkan bagian utuh dari kehidupan masyarakat.
Warga Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, dan Sikh bahu-membahu menyiapkan perjamuan, dari menata lokasi hingga memasak hidangan tradisional untuk para tamu.
“Di sini kami hidup saling membantu. Saat perayaan hari besar agama apapun, semuanya saling bantu. Tidak ada batasan agama kalau urusannya gotong royong,” ujar pemuka agama Khonghucu, Haryanto yang ikut menyambut peserta.
Kunjungan ini merupakan bagian dari program IIS 2025 yang digagas Kementerian Agama RI. Program ini bertujuan memperkenalkan praktik toleransi dan kehidupan lintas iman di Indonesia kepada dunia.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad yang turut mendampingi delegasi menyebut Pabuaran sebagai contoh ideal desa kerukunan.
“Pabuaran adalah miniatur Indonesia yang hidup dengan menjunjung moderasi beragama. Warganya bukan hanya bertoleransi, tapi juga bekerja sama lintas iman untuk membangun lingkungan yang damai dan produktif,” ujar dia saat membuka acara, Kamis (13/11/2025).
Dengan menaiki kendaraan hiburan lokal odong-odong, para delegasi berkeliling desa mengunjungi rumah-rumah ibadah yang berdiri berdekatan, mulai dari mushala, gereja, vihara, kelenteng, hingga rumah ibadah Sikh.
Di setiap tempat, pemuka agama lokal menjelaskan bagaimana masyarakat menjaga keharmonisan dan saling menghormati kegiatan peribadatan.
Di vihara, semerbak dupa mengiringi penjelasan tentang filosofi welas asih dalam ajaran Buddha. Di gereja, pendeta bercerita tentang kegiatan rutin jamaatnya, sementara di mushala, suara adzan ashar terdengar lembut dan disambut shalat berjamaah bagi yang beriman.
Semua berlangsung tanpa batas, dalam suasana tenang dan penuh saling menghormati. Delegasi dari Australia, Alexander Richard terharu menyaksikan kedamaian yang begitu alami itu.
“Kami datang untuk belajar, dan hari ini kami melihat sendiri bahwa kerukunan bukan sekadar teori di Indonesia, tapi nyata dan hidup dalam keseharian warganya,” ucap dia.
Kunjungan diakhiri dengan jamuan sederhana di balai warga. Berbagai sajian khas Betawi dan Sunda seperti kue putu ayu, nagasari, hingga semur jengkol tersaji di meja. Anak-anak kembali bernyanyi, sementara para peserta berbagi cerita dan kesan.
Hari itu, Desa Pabuaran bukan sekadar lokasi kunjungan. Ia menjadi cermin kecil Indonesia, tempat perbedaan tumbuh menjadi kekuatan, dan persaudaraan lintas iman dirayakan dengan penuh cinta dan kegembiraan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah