Jakarta — Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, dakwah Islam dituntut tidak hanya menjadi pembawa pesan ketuhanan, tetapi juga peneguh kebangsaan. Inilah semangat yang mengemuka dalam kegiatan Standardisasi Dai yang digelar Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah upaya untuk melahirkan dai-dai yang mampu menyiarkan Islam dengan wajah ramah, moderat, dan cinta tanah air.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Arif Fahruddin, menegaskan bahwa setiap dai MUI wajib menjadikan Islam wasathiyah sebagai landasan berpikir dan bertindak. Dakwah, kata dia, harus disampaikan dengan semangat hikmah dan keseimbangan agar membawa rahmat bagi seluruh umat.
“Dai MUI wajib berfikir dan berdakwah berdasarkan prinsip Islam wasathiyah, yakni mengedepankan tasamuh (toleransi), tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil),” ujarnya saat membuka Standardisasi Dai Angkatan ke-43 di BSI Tower, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025).
Menurut Kiai Arif, dakwah yang berlandaskan wasathiyah tak bisa dilepaskan dari semangat kebangsaan. Karena itu, para dai MUI diingatkan untuk tidak hanya menjadi penyampai ajaran Islam, tetapi juga pengokoh nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Seorang Muslim yang mengamalkan Pancasila sejatinya sedang melaksanakan nilai-nilai Islam. Sebab setiap sila dalam Pancasila bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pandangan para ulama yang otoritatif,” terangnya.
Ia kemudian menjelaskan bagaimana nilai-nilai Pancasila sejajar dengan prinsip al-dharuriyat al-khams dalam fikih.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa beririsan dengan hifzh al-din (menjaga agama), Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sejalan dengan hifzh al-nafs (menjaga jiwa), Persatuan Indonesia dengan hifzh al-nasl (menjaga keturunan), Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dengan hifzh al-‘aql (menjaga akal), dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sepadan dengan hifzh al-mal (menjaga harta).
“Tidak ada pertentangan antara Pancasila dan syariat Islam. Keduanya justru saling menguatkan dan menopang tegaknya kehidupan bangsa,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Kiai Arif juga memperkenalkan konsep tambahan yang ia kembangkan melalui kajian disertasinya, yakni hifzh al-daulah—menjaga negara. Ia menyebut konsep ini sebagai ummul mashalih (induk kemaslahatan), karena keberlangsungan ibadah dan kehidupan sosial tidak akan terwujud tanpa negara yang kuat.
“Tanpa negara yang kokoh, lima dasar kemaslahatan tidak mungkin berjalan. Tidak mungkin beribadah dengan damai, berdakwah dengan bebas, dan menegakkan keadilan sosial tanpa kekuatan negara. Karena itu, menjaga Pancasila dan memperkuat negara adalah bagian dari dakwah itu sendiri,” pungkasnya.