duka cita
duka cita

Ditinggal Mati Suami, Haruskah Istri Melakukan Ihdad?

Alkisah, seperti termaktub dalam Rawai’ al Bayan dan Hikmah al Tasyri’ wa Falsafatuhu, zaman jahiliah dulu budaya patriarki sangat kental mewarnai masyarakat Arab. Termasuk dalam hal perkawinan, suami sangat dikultuskan. Ketika suami meninggal istri berkewajiban melakukan Ihdad atau hidad.

Ihdad atau hidad adalah istri harus berbelasungkawa atau duka cita ketika suaminya meninggal dengan cara mengurung diri di kamar berukuran kecil dan terasing (al Hafsy). Tidak hanya itu, mereka juga harus melakukan pakaian warna hitam yang paling jelek serta dilarang melakukan beberapa aktifitas seperti menampakkan diri di publik, memakai pewangi, berhias, memotong kuku dan memanjangkan rambut.

Hal itu harus dilakukan selama setahun. Setelah itu baru bisa keluar dari kamar tersebut dengan pakaian gembel dan wajah semrawut serta bau busuk karena selama itu mereka tidak boleh mandi. Tidak cukup sampai disini, para istri yang ditinggal mati suami tersebut harus berada dipinggir jalan menunggu anjing lewat untuk membuang kotoran anjing tersebut.

Kejam. Begitulah. Tapi setelah Islam datang budaya ini dihapus. Islam membatasi masa ihdad. Untuk kematian keluarga selain suami cukup tiga hari. Adapun kalau suami yang meninggal masa ihdad tidak boleh lebih dari 4 bulan 10 hari (al Baqarah: 234).

Penjelasan lebih lanjut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah dan Hafshah.

“Wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berihdad lebih dari tiga hari, kecuali untuk kematian suaminya, ia boleh berihdad sampai 4 bulan 10 hari”. (HR. Bukhari)

Aturan Ihdad dalam Fikih

Dijelaskan dalam Tafsir al Fakhru al Razy, Jami’ al  Bayan dan al ‘Umdah fi al Ahkam, menurut jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Konsekuensinya, selama waktu ihdad, yakni 4 bulan 10 hari, istri tidak boleh (haram) kawin, berhias dan keluar rumah, kecuali karena memiliki hajat atau darurat.

Menurut Ibnu Abbas, al Hasan dan Al Sya’bi ihdad tidak wajib. Hukumnya mubah, boleh-boleh saja. Al Qur’an (Al Baqarah: 234) hanya menjelaskan tentang masa Iddah perempuan yang suaminya meninggal. Bukan perintah ihdad. Dengan demikian, selama menjalani Iddah yang dilarang adalah melakukan pernikahan. Sementara aktifitas yang lain, seperti keluar rumah, berhias dan memakai harum-haruman boleh.

Argumen Ibnu Abbas, al Hasan dan al Sya’bi adalah bahwa hadits Nabi di atas bukan perintah ihdad. Hanya ingin mengatakan bahwa ihdad itu boleh-boleh saja.

Dalil untuk memperkuat pendapat ini adalah hadits riwayat Asma’ binti Umais (istri Ja’far bin Abi Thalib).

“Pada hari ketiga sejak kematian Ja’far (suamiku) Rasulullah menemuiku. Kemudian beliau berkata, janganlah kamu berihdad setelah hari ini”.

Mana yang layak diikuti dari dua pendapat di atas tentang ihdad?

Lebih arif dan bijaksana kalau dua pendapat tersebut dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi seseorang. Pendapat mana yang lebih memuat maslahat, itulah yang diikuti. Dua pendapat di atas bukan untuk dipertentangkan, melain sebagai rahmat Islam.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …