iddah
iddah

Iddah dan Ihdad: Ungkapan Duka Terdalam Seorang Wanita

Kematian adalah maha misteri yang tak seorangpun mampu menerkanya. Kematian bisa saja merkam siapa saja tanpa kenal usia dan status.  Kematian bisa spontan merunbah status seseorang. Wanita menjadi janda. Lelaki menjadi duda.

Berbela sungkawa adalah syari’at Islam untuk ungkapkan duka kehilangan orang yang kita cintai. Namun berbeda cara berkabung wanita dan pria. Seorang istri untuk membuktikan rasa dukanya diperintahkan untuk menjalani masa iddah sekaligus ihdad. Di masa ini ia tak boleh melangsungkan pernikahan, bahkan dilarang bersolek dan keluar rumah. Karena akan dianggap merobek kehormatan suaminya. Namun, sebagai Muslimah, ia harus patuhi syari’at agamanya, yaitu selain beriddah, iapun harus berihdad. Lalu bagimana konsep iddah dan ihdad dalam Islam?

Tempo dulu, pada masyarakat pra Islam (Jahiliyyah), selain sangat menghargai institusi perkawinan, mereka juga begitu mengkultuskan suami. Hingga tatkala sang suami meninggal dunia, mereka secara kejam, menerapkan aturan yang dikenal dengan sebutan ihdad atau hidad yaitu, sang istri harus menampakkan rasa duka cita yang mendalam atas kematian suami caranya dengan mengurung diri di dalam kamar kecil yang terasing (al-hafsi) mereka juga dituntut harus memakai baju hitam yang lusus.

Tidak itu saja, mereka juga dilarang melakukan beberapa hal, berhias diri, memakai harum haruman, mandi, memotong kuku, memanjangkan rambut dan menampakan diri di hadapan khalayak.  Hal itu mesti ditempuh mereka selama setahun penuh.  Usai satu tahun, dia baru boleh keluar dari kamar disertai dengan bau yang tak enak dicium. Selanjutnya, mereka masih harus menunggu di pinggir pinggir jalan untuk membuang kotoran anjing yang lalu lalang, demikian itu dilakukan sebagai simbol betapa kehilangan yang begitu mendalam atas kepergian suaminya, disamping juga, untuk menghormati hak hak suaminya. (Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh2/86)   

Allah berfirman :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Para suami yang meninggal dunia diantara kalian dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari, kemudian apabila selesai (akhir) masa empat bulan sepuluh hari  mereka, maka tidak ada dosa bagi kalian terhadap apa yang mereka (istri istri) lakukan terhadap diri mereka sendiri menurur cara cara yang baik. dan Allah maha Mengetahuiapa yang kalian kerjakan”. QS al-Baqarah: 234

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini memerintahkan istri yang ditinggal mati suaminya untuk beriddah, tidak boleh melangsungkan akad nikah dengan laki laki lain. Bahkan menurut al-Baghawi, istri itupun harus berihdad, menahan diri untuk tidak berdandan (ihdad). Tafsir Ibnu Katsir, 1/635. Ma’alim al-Tanzil, 1/279

Ali al-Shabuni mencoba memberikan gambaran konkrit soal ihdad, menurutnya ihdad itu dengan cara tidak berdandan, tidak memakai parfum, tidak berkosmetik, menutup diri dari pandangan laki laki, lebih lanjut menurutnya, Ihdad dimaksudkan untuk memenuhi dan menghormati hak hak almarhum suaminya, karena ikatan pernikahan itu adalah ikatan terkuat dan kokoh. Tidak bisa musnah hanya dengan hitungan satu dan dua saja. Rawai’ al-Bayan, 1/365-366.

Ibnu Katsir menyebut Ihdad itu adalah dengan tidak berdandan, tidak memakai parfum, tidak memakai pakaian yang bisa memikat laki laki. Tafsir Ibnu Katsir, 1/286

Menurut Ali al-Shabuni, sebagian Ulama’ mendasarkan wajibnya ihdad bagi istri yang ditinggal mati suaminya pada QS: al-Barah:234 di atas. Lalu berapa harikah istri harus berihdad?

Sabda Rasul :

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاث ليال ، إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا

“Tidak halal (tidak boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari akhir melakukan ihdad lebih dari tiga malam keculi (boleh) berihdad untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. HR: Bukhari: 5029

Menurut keterangan dari hadits ini, bahwa ihdad itu selama empat bulan sepuluh hari. Artinya seorang wanita, selain wajib beriddah, juga wajib berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Lalu bagaimana cara menghitung empat bulan sepuluh hari itu? Menutur Fahr al-Din al-Razi, hitungan itu dimulai dari malam hari. Misalnya, suaminya meninggal hari Hari Selasa jam 09:00 maka, hitungan iddah dan ihdad itu dimulai pada jam terbenamnya matahari (sesuai dengan daerah masing masing) kalau misalnya suaminya meninggal pada malam hari maka ia langsung memulai masa iddah dan ihdadnya. Mafatih al-Ghaib, 3/357.

Lalu bagaimana konsep iddahnya?

Dalam pandangan jumhur al-Ulama’ (mayoritas Ulama) Imam hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa iddah bagi orang tidak Hamil ialah empat bulan sepuluh hari, sesuai dengan QS al-Baqarah: 234. Sementara bagi istri yang sedang hamil yang ditinggal mati suaminya iddahnya ialah sampai ia melahirkan kandungannya. Berdasarkan ayat

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Istri istri yang hamil batas waktu (iddah) mereka ialah melahirkan kandungan mereka. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah. Allah jadikan baginya kemudahan untuk urusannya” QS: al-Thalaq:04

Ayat ini sekaligus membatasi cakupan hukum yang dijelaska oleh QS: al-Baqarah:234.

Tetapi menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Abdullah Ibn Abbas bahwa iddah bagi istri yang sedang hamil adalah memilih waktu yang lebih lama antara empat bulan sepuluh hari dan melahirkan kandungan. Artinya, bagi istri yang ditinggal mati suami lalu sebulan kemudian melahirkan kandungannya, maka ia harus beriddah dengan empat bulan sepuluh hari, berarti ia tinggal menambah iddahnya tiga bulan sepuluh hari lagi. Bagi wanita hamil yang ditinggal suaminya namun usia kandungannnya masih satu bulan, maka, ia beriddah dengan nelahirkan kandungannya, berarti iddah berakhir delapan bulan lagi, ketika melahirkan kandungannya. Rawai’ al-Bayan, 1/363-364

Kenapa harus beriddah? Ali al-Shabuni mengatakan, Iddah adalah syari’at yang sangat indah. Didalamnya terdapat tujuan tujuan yang sangat indah pula. Pertama, iddah disyari’atkan demi untuk mengetahui bersihnya Rahim dari benih kehamilan. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan demi kejelasan nasab keturunannya. Kedua, melaksanakan perintah al-qur’an. Ketiga, menampakkan kesedihan dan duka mendalam atas kematian suaminya. Keempat, mempersiapkan mental yang lebih mapan untuk memasuki dunia keluarga untuk kedua kalinya. Rawai’ al-Bayan, 1/367

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …