fikih perempuan

Fikih Gender (2) : Membangun Relasi Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki

Kita diberi tahu, atau mengetahui sendiri bahwa pada intinya di semua sektor kehidupan, perempuan berada dalam posisi dikesampingkan oleh proses yang sudah lama mengendap dan mapan. Dan sengaja dan dicoba dipertahankan di dalam komunitas yang didominasi oleh kaum laki laki.

Kita mencatat fenomena menarik di dalam kebudayaan beragama kita. Yang diam diam mengatakan, ‘hal yang merugikan perempuan adalah menguntungkan bagi laki laki. Dan mungkin juga sebaliknya. Maka dengan berbagai cara simbolik maupun aktual kaum laki laki berusaha keras mempertahankan dominasi itu.

Dengan begitu posisi kaum laki laki sebagai ‘raja’ atau bahkan ‘maharaja’ dalam keluarga di masyarakat di dalam organisasi dan juga di tempat tempat mereka bekerja semakin mendapatkan justifikasi stratifikatif. Dan perempuan sebagai ‘batur’, ‘parewangan’ alias pembantu tetap kukuh dan tak tergoyahkan dan tak terbantahkan.

Lalu bagaimana Islam memandang relasi antara laki laki dan perempuan? Utamanya, dalam hubungan keluarga!

Di beberapa literatur hadist Nabi terdapat data yang mengungkap fakta bahwa Rasulullah (kapasitasnya sebagai suami) tidak melibatkan bantuan istri-istriNya dalam merampungkan sebuah pekerjaan rumah. Apalagi pekerjaan rumah yang aksentuasenya pada ranah kebutuhan pribadi.


Secara implisit, praktik kehidupan rumah tangga Rasulullah ini, mendeskripsikan status perempuan (istri) adalah mitra, bukan sebagai batur, parewangan, pelayan apalagi budak sahaya. Hadits-hadits yang ditulis oleh ulama’ sekaliber al-Bukhari misalnya, menyatakan dengan gamblang bahwa Rasulullah mengabdikan diri untuk keluarganya. Huwa fi mihnati ahlihi (dia melayani atau mengabdikan dirinya bagi keluarganya).

Dalam sebuah testimoni Aisyah ra. Rasulullah bahkan menambal sandalnya sendiri tanpa meminta bantuan ataupun memerintah istri istriNya, Beliaupun juga tak segan segan menjahit bajunya, mencuci bajunya, memerah susu dari kambing ternaknya, dan mengerjaan pekerjaan rumah lainnya.

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Hafsh Ibn Umar, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dia berkata; saya bertanya kepada Aisyah “Apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada keluargaNya? Aisyah menjawab; “Beliau suka membantu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan pekerjaan isterinya, apabila tiba waktu shalat, maka beliau beranjak untuk melaksanakan shalat.” HR: Bukhari: 5579

Hadits Lain yang menyajikan fakta yang serupa adalah :

حَدَّثَنَا يُونُسُ وَحَسَنٌ قَالَا حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا سُئِلَتْ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَخْصِفُ نَعْلَهُ قَالَتْ وَكَانَ يَعْمَلُ مَا يَعْمَلُ الرِّجَالُ فِي بُيُوتِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Yunus dan Hasan keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Mahdy dari Hisyam bin Urwah dari Ayahnya dari Aisyah, ia pernah ditanya mengenai apa yang diperbuat oleh Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam ketika di rumahnya. Ia menjawab; “Beliau menjahit bajunya, mengesol sandalnya, dan beliau melakukan sebagaimana yang dilakukan para lelaki di rumah mereka. HR: Ahmad: 25039

Teladan agung ini, hendak menyatakan bahwa pekerjaan rumah tangga tidak “berjenis kelamin”. Tidak ada pekerjaan untuk perempuan (istri) atau pekerjaan untuk laki laki (suami) keduanya bersinergi dalam satu kemitraan.

Semua pekerjaan rumah tangga haruslah dikerjakan secara proporsional dalam bingkai keadilan dan kema’rufan sesuai dengan tuntunan al Qur’an untuk saling memperlakukan pasangan secara pantas. Saling memuliakan satu sama lainnya. Bukankah Nabi bersabda

ما أكرم النساء إلا كريم ولا أهانهن إلا لئيم

Artinya : Hanya laki laki mulia yang sanggup memuliakan perempuan. Dan hanya laki laki rendah yang sanggup merendahkan perempuan (Al-jami’ al-Kabir, karya al-Suyuthi, 1/ 12374).

Data faktual hadits ini memiliki validitas tinggi sebagai spiritualitas perjuangan kaum feminis dalam pemberdayaan perempuan dalam masyarakat kendatipun harus berhadapan dengan jalan terjal dan berliku. Tetapi anehnya, perjuangan kaum perempuan hingga saat ini, secara ideologis dan simbolis masih saja sederhana tidak menohok pada biang persoalan.

Aspirasi perempuan sangat terbatas. Sekedar mendambakan kehidupan rumah tangga yang mesra walaupun terpenjara. Itupun kemesraan sebatas suami istri, ibu bapak dan anak anak mereka. Padahal kemesraan itu mestinya juga pada relasi dan kemitraan antara perempuan dan laki laki.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …