jabat tangan
jabat tangan

Fikih Gender (8) : Berjabat Tangan Laki-laki dan Perempuan

Berjabat tangan (mushafahah) adalah bagian tak terpisahkan dari budaya Nusantara dan negara lainnya.  Budaya ini, merata dipraktekkan dari kalangan elit hingga kalangan alit. Dari kelas konglomerat pun juga kelas melarat.

Jabat tangan menjadi pernak-pernik acara biasa hingga acara luar biasa seperti silaturrahmi, resepsi pernikahan, kunjungan dan serah terima jabatan. Bagaimana sebenarnya bentuk Jabat tangan antara laki-laki dan perempuan menurut Islam atau fikih?

Bila ditelisik, secara psikologis jabat tangan adalah pembuka komunikasi, rekonsiliasi hingga menyampaikan rasa empati secara formal.

Jabat tangan mampu menyampaikan message (pesan-pesan) khusus dan kesan-kesan yang indah, saat bersua dengan kenalan baru, rekan sejawat, berjabat tangan beberapa detik kemudian akan mampu membangkitkan simpati kemanusiaan yang harmonis. Firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS: al-Hujurat:13

Menurut al-Raziy, sebagai Khalifah fil Ardhi (pengelola Bumi) manusia dituntut berperan untuk menciptakan sebuah simfoni kehidupan yang harmonis. Ayat ini sama sekali  tidak membeda-bedakan antara laki laki dan perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk merajut sebuah perkenalan dan persahabatan yang baik.

Perkenalan atau persahabatan yang dianjurkan oleh ayat ini adalah persahabatan yang berdampak perdamaian bukan malah kekisruhan, saling tolong-menolong bukan saling membanggakan kelebihan masing masing. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan kemulian bagi orang yang bertaqwa. Mafatih al-Ghaib, 14/192.

Lalu bagaimana bentuk persahabatan antara laki laki dan perempuan yang dikehendaki oleh Islam. Pertama, laki laki harus memandang perempuan dengan pandangan yang santun. Bukan pandangan sinis dan nista, penuh ambisi syahwat yang merisaukan. Kedua, bertutur kata penuh kelembutan, bukan kata kata kotor atau sumpah serapah. Ketiga, berbusana yang elegan, tidak mengumbar aurat. Sesuai dengan firman Allah

 “Katakanlah -wahai Rasul- kepada kaum laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandanganya dari melihat hal-hal yang tidak halal bagi mereka seperti wanita dan aurat, dan hendaknya memelihara kemaluan mereka agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram dan (tidak) menyingkapnya. Menahan pandangan dari perkara haram itu adalah lebih suci bagi mereka di sisi Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak ada sesuatupun dari hal itu yang tersembunyi bagi-Nya, dan Dia akan memberikan balasan pada kalian atas hal tersebut(30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.(31)”. QS: al-Nur:30-31

Bagaimana lalu soal “jabat tangan antar laki laki dan perempuan”? Mayoritas Faqih Madzhab Syafi’i, seperti Zainuddin al-Malibari misalnya, mendasarkan haramnya jabat tangan laki-laki dan perempuan pada haramnya laki laki melihat perempuan. Ini yang disebut dengan qiyas awlawi. Melihat perempuan saja diharamkan apalagi berjabat tangan yang notabene bersentuhan kulit antara laki laki dan perempuan. Fath al-Mu’in, 98.

Apakah keharaman ini mutlak sifatnya, al-Bujairami menulis sebuah kisah bagaimana Rasulullah pernah berbaring di sisi Umi Haram, Umi Harampun mengelus ngelus rambut Rasulullah. Padahal antara Rasul dan Umi Haram tidak ada hubungan yang legal. Bujairami ‘Ala al-Khatib, 3/314.

Bisa disimpulkan bila berjabat tangan antara laki laki dan perempuan dapat membangkitkan gairah birahi atau fitnah sosial, maka jabat tangan seperti ini yang diharamkan, bila tidak ! hanya sebatas jabat tangan biasa. Maka tentu, diperbolehkan. Apalagi dengan jabat tangan itu mampu merajutkan hubungan yang lebih baik lagi antar kelompok tertentu.

Bila jabat tangan mampu menyudahi kekacauan sosial yang berkepanjangan atau mampu melerai pertikaian maka mengapa mesti dilarang dengan fatwa haram?!

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …