gema pembebasan

Gagal Paham Gema Pembebasan tentang Centraal Comite Chilafat (CCC) dan Upaya Membakukan Sistem Khilafah

Sebagai Mantan Ketua Umum Gema Pembebasan Kalbar Periode 2009 – 2011, saya kecewa berat dengan Bedah dan Diskusi Media Pembebasan bertema, “Kekhilafahan dan Keindonesiaan” yang berlangsung melalui plaform barat; YouTube. Rasa tidak puas itu tak sanggup saya terima sebab tak seperti era GP sediakala; sarat dialogika dan open minded. Sekilas kita sudah langsung tahu arah framing-nya kemana. Pembicaraan hambar, garing, monolog, bahkan salahsatu peserta bernama Anwar, yang berusaha mengungkapkan perspektif berbeda, cenderung dihalang-halangi, ada unsur sedikit sabotase untuk membatasi munculnya pemikiran alternatif.

Masih dirundung rasa penasaran, saya juga membubuhkan banyak pertanyaan namun tak satupun dijawab, khususnya kepada Syabab GP yang katanya ahli sejarah, ternyata referensinya minim sekali, dan diam seribu bahasa ketika ditanya menggunakan dialektika terbalik. Di antaranya:

  1. Kalau nanti Khilafah tegak dan Atha Abu Rasytah tak kebagian kursi kekuasaan, apakah HT akan memberontak Khilafah ala minhaj an nubuwwah yang sah?
  2. Di Negara Non-Demokrasi, Gema Pembebasan apakah bisa eksis, sampai bikin live streaming seperti saat ini?
  3. GP sendiri menawarkan/menjual konsep bakunya ke Non-Muslim, Bagaimana responnya?

Ketia poin di atas saya utarakan lantaran Tuan Rumah memaksakan sistem kekhilafahan laksana aturan tunggal yang berasal dari Tuhan. Lebih lagi, narasumber berinisial NP menyebutkan dalam penalarannya terhadap sejarah Indonesia:

“Orang-orang yang mendirikan negara ini terbagi menjadi 3 kubu: Islam, Nasionalis-Sekuler, dan Sosialis-Komunis. Kubu pertama memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Kubu kedua memperjuangkan Pancasila. Kubu ketiga memperjuangkan dasar yang mereka sebut sosial-ekonomi, walaupun akhirnya head to head antara Kubu Islam dan Kubu Nasionalis-Sekuler bergabung dengan Sosialis-Komunis”.

Agar adil menelaah realita masa lalu, penting membuka kembali lembaran meletusnya Perang Dunia I dan II pada 1914-1945 silam yang diduga sebagai akhir kejayaan umat Islam dalam bingkai sistem imperium adidaya bernama Khilafah Utsmaniyyah. Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (2008) menyebut dinasti yang lahir sejak 1517 ini resmi berakhir pada tahun 1924. Runtuhnya Kekhalifahan tersebut beriringan tumbuhnya paham negara bangsa (nation state) di berbagai wilayah taklukannya. Diperparah psikologis umat Islam yang saling bertikai satu sama lain karena perbedaan mazhab. Para Cendekiawan Indonesia turut ambil perhatian terkait persoalan ini.

Digelarnya permusyawaratan bernama Kongres Umat Islam yang muncul dengan penggagasnya H.O.S Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Agus Salim antara 1921 hingga 1941, kongres tahunan Umat Islam telah dilakukan sebanyak 12 kali dan menyebar di berbagai tempat, seperti Cirebon, Garut, Surabaya hingga puncaknya di Yogyakarta pada November 1945.

Seakan mengonfirmasi pernyataan NP, Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menulis tujuan diadakannya Kongres tak lain untuk menyikapi kondisi umat Islam di dunia, terutama pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, bersamaan dalam menghadapi situasi dalam negeri kala itu banyak terjadi pelecehan terhadap Islam dan pemeluknya, terutama dari kelompok sekuler dan zending.

Namun versi lain semisal buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) menginformasikan bahwa tujuan diadakannya Kongres Umat Islam ialah dalam rangka menggalang persatuan umat, mengurangi perselisihan perkara cabang agama dengan semangat pan-Islamisme, terkait konteks pergaulan internasional.

Pertemuan Ulama Nusantara bertujuan menegaskan urgensi Ukhuwah Islamiyah dan bersinergi menyelesaikan masalah khilafah yang memang kala itu menjadi problem utama bagi dunia Islam. Adapun yang tak diungkapkan NP, perpecahan bukan terjadi antara Front Islam, Front Nasionalis, dan Front Sosialis semata, namun diinternal Muslimin juga terjadi silang pendapat yang tajam.

Alhasil, sebagai respon gagasan Tjokroaminoto, pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan turut serta dalam Kongres Umat Islam pertama di Cirebon pada 1921, berlanjut di Garut pada tahun 1922 di bawah pimpinan Agus Salim dan Pengurus Besar Muhammadiyah, gagal menyatukan umat, yang ada malah terpecah antara penganut kaum tradisionalis dengan kaum modernis yang diwakili Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI) sang penggagas Kongres.

Melirik Jurnal Kajian Keislaman Al-Ashriyyah Volume 1 Oktober 2015, hasil ‘rapat darurat’ itu justru menyudutkan kelompok Islam tradisionalis. Sementara itu di kalangan kelompok Islam modern antara SI dan Muhammadiyah juga terdapat persilangan pendapat.

Tak berhenti sampai disitu, Civitas Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir menggelar Kongres Muktamar Dunia, guna mencari alternatif bubarnya Dinasti Ottoman pada 3 Maret 1924. Menanggapi undangan dari Mesir, umat muslim kembali menggelar Kongres Al-Islam luar biasa di Surabaya pada 24-26 desember 1924. Dihadiri oleh 1000 orang Islam, perhelatan tersebut menjadi cikal-bakal berdirinya Centraal Comite Chilafat (CCC), beranggotakan puluhan muslim berbagai afiliasi, tanpa kecuali Tjokroaminoto dari Central Sarekat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, Haji Fachrodin dari PP Muhammadiyah, dan Suryopranoto dari PSI. Sayangnya, Muktamar Khilafah di Kairo dibatalkan.

Kemudian, NP tidak menguraikan lebih mendalam, yaitu disamping babak Khilafah yang telah usai, umat Islam mendapat ujian berupa tragedi Ibnu Sa’ud yang berhasil menaklukkan Hijaz dan menyatukan semenanjung Arab. Oleh karena itu, Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta, dimanfaatkan oleh tokoh Islam tradisional, Kiai Wahab Chasbullah mengusulkan delegasi CCC nantinya mendesak Raja Ibnu Sa’ud supaya  kebebasan bermadzhab tetap terpelihara.

Ibn Sa’ud pun mengundang kaum muslim Indonesia untuk hadir dalam Kongres Muktamar Dunia di Makkah pada 1 Juni 1926, sehingga diselenggarakan kembali Kongres Umat Islam ketujuh di Surabaya pada tahun 1926 yang memutuskan Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Kiai Mas Mansyur sebagai perwakilan delegasi ke Makkah. Di forum itu, terdapat wacana ‘menertibkan’ makam Rasulullah SAW, karena madzab yang diemban Arab Saudi ialah wahabi yang berkeyakinan segala aktivitas di kuburan sekalipun didalamnya Nabi dan Wali-wali Allah, dihukumi syirik.

CCC selaku badan delegasi diubah namanya menjadi Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindis Sjarqiyah (MAIHS), kurang memberi ruang bagi kelompok muslim tradisional, pada gilirannya membuat mereka membentuk utusan sendiri bernama Komite Hidjaz. Masih mengutip sumber yang sama (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur 1978), Komite Hidjaz bersama tokoh utama Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri dari Denanyar, dan lain-lain membuat dua keputusan penting:

  1. Mengirimkan delegasi yang memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab.
  2. Membentuk suatu organisasi atau jam’iyah pengirim utusan itu yang kelak oleh Kiai Alwi Abdul Aziz dinamakan sebagai Djam’iyah Nahdhatul Ulama pada tangga 31 Januari 1926 di Surabaya.
  3. Daulah Utsmaniyyah, kehancurannya tidak memberikan efek signifikan bagi umat muslim Indonesia. Kabar baiknya Komite Hidjaz atau Nahdlatul ulama untuk mencegah Pemerintah Wahabi merusak kuburan Nabi terbilang cukup berhasil. Lewat surat No.2082 tanggal 13 juni 1928 kepada pengurus besar NU, pemerintah Wahabi menjamin kebebasan umat Islam untuk beribadah sesuai mazhabnya masing-masing.

Maka itu, penggiringan NP dan rekan-rekan Gema Pembebasan Pusat untuk memaksakan keyakinannya bahwa Khilafah merupakan sistem baku dan mahkota kewajiban, fakta sejarah sendiri membantahnya. Apalagi GP yang notabene anak cabang ormas terlarang; Hizbut Tahrir Indonesia, dalam doktrinasinya melarang setiap kader menjadikan sejarah sebagai dalil.

Lebih jauh, K.H. Said Aqil Siradj menyatakan dalam sebuah kesempatan, menyampaikan bahwa waktu itu Ulama bersepakat untuk tidak sepakat, artinya seluruh umat Islam diperkenankan membentuk negara masing-masing, apakah menggunakan sistem kerajaan ataupun sistem presidensial. Khusus Indonesia, dipilih-lah negara Republik berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Kita disini sudah sepakat, sudah final, yang tidak bisa diganggu gugat adalah sistem jumhuriyah (republik), kesepakatan umat islam indonesia, termasuk ulama,” diungkapkan KH Said Aqil Siroj dalam Mukernas Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Kamis (15/9/22).

Menjelang sesi akhir jalannya diskusi, partisipan bernama Anwar tadi sempat memberikan komentar walau durasinya sangat sempit, tidak lebih dari lima menit. Yang saya ingat adalah, “Perkara Khilafah merupakan Bab Fikih Ijtihadiyyah, sehingga tidak boleh dianggap multak. Jika punya kemampuan melaksanakan silahkan, jika tidak, tak ada paksaan. Kalau mengabsolutkan dan memasukkannya ke Bab Teologis, bisa berimplikasi mengkafirkan oranglain diluar kelompoknya.”

Bagikan Artikel ini:

About Dany Chaniago

Penulis merupakan Eks Syabab HTI Provinsi Kalimantan Barat, bergabung tahun 2008 dan keluar tahun 2013. Pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Gema Pembebasan Borneo Barat tahun 2009 – 2011. Saat ini Penulis aktif sebagai Tenaga Pengajar di IAIN Pontianak dan berkhidmat di Nadhatul Ulama melalui Banom GP Ansor.

Check Also

HTI

Setelah Raup Rp240 Juta Pasca Event Terselubung HTI 1200 Peserta Gen Z Mau Dibawa Kemana?

Logistik yang tersendat, minimnya bantuan asing, dan stagnannya perekrutan kader (korban) baru, Hizbut Tahrir Indonesia …

pelajar kontra radikal

Hti Hembuskan Propaganda One Ummah Di Masa Tenang Pemilu 2024, Pelajar Lintas Agama Siap Kontra Narasi Radikal

Meski memasuki masa tenang Pemilu 2024, kelompok radikal tengah berupaya mengalihkan perhatian generasi muda melalui …